Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Keliru Bila Bansos Uang adalah Sarana Pemberdayaan

11 Maret 2024   11:44 Diperbarui: 12 Maret 2024   18:13 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan tentang Bansos (Bantuan Sosial) di tanah air ini terlalu sering menyodorkan kita beberapa pertarungan klasik. Pertarungan antara pemerintah dan oposisi tentang Bansos tampak begitu berat untuk disudahi. 

Pertengakaran mereka bukan pada substansi  program Bansos sebagai strategi peningkatan ekonomi masyarakat melainkan momentum saluran Bansos. Hal itu berarti antara aktor-aktor dalam pemerintah dan oposisi sama-sama memiliki kepentingan politik yang selalu melihat Bansos secara politis. Tidak mengherankan Bansos disebut-sebut sebagai 'alat' politik.

Terlepas dari pertengaran yang tidak berbobot di atas, pertarungan lain yang lebih menarik dan tak tampak dalam pantauan indera adalah pertarungan antara masyarakat miskin dengan diri mereka sendiri. 

Kehadiran Bansos khususnya yang berupa uang sesungguhnya menghadirkan konflik batin dalam diri mereka. Pergulatan batin mereka melawan ketidakjujuran sesungguhnya luput dari pantauan kita.

Masyarakat berupaya untuk melawan rasa bersalah demi mendapatkan Bansos, dan di sinilah Bansos juga sebenarnya dapat berperan sebagai alat untuk mendeteksi kejujuran. Uraian ini bukan asumsi dan spekulatif melainkan sebuah temuan yang diperoleh dari riset yang masuk akal dan ilmiah.

Pada tahun 2019 beberapa dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula bekerja sama dengan Bappelitbangda Kabupaten Ende melakukan sebuah penelitian di Kabupaten Ende, NTT. 

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh Bansos terhadap angka kemiskinan di kabupaten ini. Salah satu temuan yang cukup mengejutkan adalah kehadiran Bansos berpengaruh terhadap peningkatan angka kemiskinan.

Kedengarannya semacam sebuah paradoks. Bansos berupa uang yang dianggap sebagai 'juru selamat' kemiskinan justru menjadi salah satu faktor fundamental yang melahirkan dan merawat angka kemiskinan. Tidak mengherankan peningkatan angka kesmikinan berjalan linear dengan gelontoran dana Bansos.

Temuan ini seyogianya membantah argumentasi pemerintah yang terlanjur nyaman hidup dalam pemikiran bahwa Bansos uang adalah alat pemberdayaan ekonomi masyarakat. 

Bansos (uang) diyakini sebagai sebagai sebuah strategi pemberdayaan ekonomi untuk menekan angka kemiskinan dan bersamaan dengan itu dapat membantu masyarakat memecahkan persoalannya.

Keagungan Bansos juga sering ditemukan dalam berbagai argumentasi pemerintah bahwa tujuan utama dari program Bansos adalah untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan perlindungan sosial kepada kelompok rentan. 

Namun, fakta di lapangan, Bansos khususnya dalam bentuk dana keuangan justru memanjakan masyarakat miskin, menambah kemiskinan, dan menimbulkan ketergantungan.

Perlu diketahui bahwa Bansos sebagai sebuah sarana pemberdayaan ekonomi kurang memiliki dukungan literasi ilmiah yang kuat. Kita sukar menemukan teori yang mengulas secara tegas bahwa Bansos berupa uang merupakan faslitas pemberdayaan ekonomi. Mari kita uji beberapa pendapat para ahli pemberdayaan.

Sebagai misal, Amartya Sen (seorang ekonom dan filsuf) memperkenalkan konsep pemberdayaan sebagai kebebasan. Amartya Sen menjelaskan bahwa pemberdayaan ekonomi tidak hanya melibatkan peningkatan pendapatan, tetapi juga memberikan kesempatan dan kebebasan bagi individu untuk menentukan pilihan terbaik dalam kehidupan mereka.

Ahli lain seperti Muhammad Yunus (Pendiri Grameen Bank) agaknya mendukung argumentasi pemerintah. Bahwasannya  mikrofinansial dapat menjadi sarana pemberdayaan ekonomi karena memberikan akses modal kecil kepada kelompok masyarakat miskin agar mereka dapat memulai atau mengembangkan usaha kecil. 

Namun Jean Dreze dan Amartya Sen menolak mentah-mentah pemberdayaan ekonomi masyarakat difokuskan pada distribusi finansial. 

Keduanya meyakini bahwa pemberdayaan ekonomi mestinya bersandar pada pengembangan kapabilitas masyarakat agar mereka secara efektif berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi.

Pandangan ini dikuatkan lagi oleh Martha Nussbaum.  Baginya pemberdayaan ekonomi harus memperhitungkan dimensi kesejahteraan manusia, termasuk pendidikan, kesehatan, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Senada dengan itu Paulo Freire dan Arjun Appadurai menyoroti pentingnya pendidikan kritis dan pemahaman terhadap konteks sosial, politik, dan ekonomi sebagai elemen kunci dalam pemberdayaan ekonomi, bukan gelontoran dana yang mengalir ke kantong-kantong masyarakat miskin.

Pendapat para ahli di atas hendaknya membuka mata dan telinga kita lebar-lebar bahwa pemberdayaan ekonomi tidak hanya terbatas pada aspek moneter melainkan yang utama adalah melibatkan dimensi kehidupan lain yang lebih luas dan bahkan kebebasan individu menentukan pilihan-pilihan terbaik dalam kehidupan mereka. Penentuan pilihan terbaik dapat terjadi hanya bila adanya kesadaran.

Oleh karena itu pemberdayaan ekonomi masyarakat hendaknya dimulai dengan menyentuh kesadaran mereka bukan dengan membagi-bagi uang. 

Kebaikan pemerintah tidak diukur dengan menabur-nabur uang kepada masyarakat. Justru menabur uang lalu pergi tanpa pendampingan akan menghasilkan luka batin masyarakat miskin semakin menganga.    

Mengapa demikian? Gelontoran Bansos khususnya bantuan berupa uang untuk masyarakat miskin menyebabkan ketergantungan. Masyarakat akhirnya beramai-ramai dengan berbagai cara menggolongkan diri mereka miskin agar bisa menerima bantuan tersebut.

Di sinilah terjadi apa yang saya jelaskan pada awal tulisan ini, yaitu pertarungan antara masyarakat miskin dengan diri mereka sendiri. Mereka berada di persimpangan jalan, antara jujur atau melawan ketidakjujuran. 

Mereka (kaum papa) tersandera dalam konflik batin karena hadirnya Bansos. Tuntutan adat dan budaya bisa saja menggoda mereka untuk merekayasa diri menjadi masyarakat miskin. Tidak mengherankan jumlah masyarakat miskin terus bertambah seperti hasil penelitian di Kabupaten Ende.

Pemerintah datang dan pergi membawa Bansos tetapi tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam nurani raga-raga yang dianggap miskin itu. 

Lagi pula Bansos yang terkadang datang tanpa diundang pun belum tentu memiliki niat yang murni. Mungkin saja Bansos dijadikan sebagai alat 'minta maaf' politik atau pengalihan isu. 

Kita tidak pernah tahu karena memang Bansos tidak bisa berbicara seperti 'tuannya'. Kehadirannya seolah-olah bagaikan robot yang di-setting untuk mendestruksi nurani masyarakat.

Mari kita sepakat untuk mengubah bentuk Bansos. Mari kita sudahi Bansos yang menuai pertengkaran abadi ini. Pemberdayaan ekonomi tidak mengenal bentuk tunggal. 

Ketika masyarakat membutuhkan ikan maka kail pancingan dan cara memancing yang mesti ditunjukan kepada mereka, bukan ikan. Masyarakat harus diberi daya, kemampuan, kapasitas dan pembelajaran proses, bukan hasil akhir (goal).

Namun bila pemerintah masih 'doyan' Bansos uang maka perlu penyiapan kesadaran masyarakat dan pendampingan yang super-ekstra agar Bansos uang diinvestasikan dengan baik bukan untuk konsumsi alias habis pakai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun