Kebaikan pemerintah tidak diukur dengan menabur-nabur uang kepada masyarakat. Justru menabur uang lalu pergi tanpa pendampingan akan menghasilkan luka batin masyarakat miskin semakin menganga. Â Â
Mengapa demikian? Gelontoran Bansos khususnya bantuan berupa uang untuk masyarakat miskin menyebabkan ketergantungan. Masyarakat akhirnya beramai-ramai dengan berbagai cara menggolongkan diri mereka miskin agar bisa menerima bantuan tersebut.
Di sinilah terjadi apa yang saya jelaskan pada awal tulisan ini, yaitu pertarungan antara masyarakat miskin dengan diri mereka sendiri. Mereka berada di persimpangan jalan, antara jujur atau melawan ketidakjujuran.Â
Mereka (kaum papa) tersandera dalam konflik batin karena hadirnya Bansos. Tuntutan adat dan budaya bisa saja menggoda mereka untuk merekayasa diri menjadi masyarakat miskin. Tidak mengherankan jumlah masyarakat miskin terus bertambah seperti hasil penelitian di Kabupaten Ende.
Pemerintah datang dan pergi membawa Bansos tetapi tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam nurani raga-raga yang dianggap miskin itu.Â
Lagi pula Bansos yang terkadang datang tanpa diundang pun belum tentu memiliki niat yang murni. Mungkin saja Bansos dijadikan sebagai alat 'minta maaf' politik atau pengalihan isu.Â
Kita tidak pernah tahu karena memang Bansos tidak bisa berbicara seperti 'tuannya'. Kehadirannya seolah-olah bagaikan robot yang di-setting untuk mendestruksi nurani masyarakat.
Mari kita sepakat untuk mengubah bentuk Bansos. Mari kita sudahi Bansos yang menuai pertengkaran abadi ini. Pemberdayaan ekonomi tidak mengenal bentuk tunggal.Â
Ketika masyarakat membutuhkan ikan maka kail pancingan dan cara memancing yang mesti ditunjukan kepada mereka, bukan ikan. Masyarakat harus diberi daya, kemampuan, kapasitas dan pembelajaran proses, bukan hasil akhir (goal).
Namun bila pemerintah masih 'doyan' Bansos uang maka perlu penyiapan kesadaran masyarakat dan pendampingan yang super-ekstra agar Bansos uang diinvestasikan dengan baik bukan untuk konsumsi alias habis pakai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H