Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pahlawan Tak Dikenal: Menyoal Pemilu Rentan Kematian

20 Februari 2024   19:22 Diperbarui: 20 Februari 2024   20:34 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua masyarakat tahu bahwa negara yang bernama Republik Indonesia ini didirikan dengan niat baik dan motivasi yang luhur oleh para pendiri. Tujuan negara yang luhur itu termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Negara bertugas melindungi segenap rakyat Indonesia dan tumpah darah Indonesia, karena itu perlindungan terhadap hak hidup warga negara adalah keniscayaan.

Terhadap perintah Undang-Undang di atas maka negara harus memastikan jaminan hak hidup setiap warga negara. Jaminan hak hidup warga negara hendaknya hadir dalam setiap sistem perencanaan dan kebijakan di negeri ini. Namun kita mesti jujur bahwa sistem penyelenggaraan Pemilu di negeri ini berpotensi memakan korban.

Gugurnya para petugas KPU, KPUD, PPK, KPPS di medan Pemilu 2024 adalah sebuah tamparan yang memalukan bagi negara ini. Terlebih bahwa peristiwa ini lazim terjadi pada 3 Pemilu terakhir. Negara bisa saja dicurigai membiarkan budaya kematian terjadi pada setiap Pemilu, seperti ritual tumbal lahirnya sebuah kekuasan.

Ketika kengerian ini menjadi konsumsi dunia internasional, negara ini seperti kehilangan nurani di mata dunia. Ini bukan masalah politik, ini masalah kemanusiaan. Tidak mengherankan Indonesia selalu diidentikkan dengan persoalan kemanusiaan dari masa ke masa. Negara ini terlalu akrab dengan masalah kemanusiaan dan nyaris tak pernah tuntas menyelesaikannya. Miris, masalah HAM dan kemanusiaan digaungkan dalam dialektika debat Capres/Cawapres tetapi kita membiasakan hidung kita mencium bau kematian di setiap jelang Pemilu.

Negara semacam ini persis seperti yang diungkapkan Hannah Arendt (Filsuf Jerman). Dalam bukunya berjudul "The Origins of Totalitarianism", filsuf politik abad ke-20 itu memberikan perhatian khusus pada isu-isu politik dan moral dalam konteks kejahatan negara. Arendt mengeksplorasi bagaimana negara dapat menjadi sumber penindasan dan menghasilkan kebijakan yang tidak melindungi hak asasi manusia. Kita sepertinya berada pada apa yang dipaparkan filsuf wanita itu. Deretan kebijakan tentang penyelenggaraan Pemilu di negeri ini terkesan tidak melindungi hak hidup warga negara.

Ratap tangis di beberapa Pemilu terakhir seolah membuat kita tak lagi bijaksana. Gugurnya pahlawan tak dikenal yang mempersembahkan nyawanya untuk sebuah sirkulasi kekuasaan belum dianggap pahlawan secara formil oleh pemerintah. Ya, negara seperti menutup mata dengan banyaknya korban yang berjatuhan tanpa sematan gelar pahlawan di setiap nisan mereka. Kita menunggu itu.

Setidaknya negara dapat menyisihkan ruang penghormatan bagi jiwa-jiwa yang diratapi keluarga yang berduka. Namun jika kerinduan kita bagaikan pungguk merindukan bulan maka negara (pemerintah) yang adalah kumpulan individu terhumanisasikan telah mensubsitusi cara pikir menjadi insting predator. Arendt menamakannya sebagai kondisi 'ketidakberpikiran' atau minus stok akal sehat. Mari kita hindari itu dengan memberikan penghormatan layak kepada para pahlawan kita.

Penantian dan pengawasan kita terhadap negara tak hanya sampai di situ. Evaluasi sistem Pemilu yang rentan terhadap kematian ini adalah keniscayaan. Saya meyakini bahwa penghuni setiap pusara yang tanahnya masih basah menginginkan hal yang sama, agar sesama saudara warga negaranya tidak mengalami nasib serupa.

Bunga-bunga bangsa yang berguguran di beberapa Pemilu terdahulu mestinya telah menyadarkan kita bahwa sistem penyelenggaraan Pemilu yang rentan terhadap kematian warga negara harus diganti. Mengapa kita tidak mencontohi negara-negara luar yang satu langkah di depan kita memanfaatkan teknologi (artficial inteligence)? Ataukah kita tidak bisa menghentikan Pemilu serentak yang menguras tenaga para petugas Pemilu? Perlu disadari bahwa insentif sebesar apapun tidak akan pernah mengembalikan nyawa manusia yang hilang.

Ini bukan hanya duka mereka, tapi ini duka negara, duka kita bersama. Ini bencana kemanusiaan. Dengan legitimasi teori politik apapun tidak dapat membantah bahwa ini adalah urusan kemanusiaan. Oleh karena itu masalah ini tidak perlu dipolitisasi dan atau membangun argumentasi lain yang melampaui peristiwa kematian. Mari kita mendukung pemerintah atas nama negara untuk 'menyelesaikaan' penghormatan kepada jiwa-jiwa korban Pemilu dan mengubah sistem penyelenggaraan Pemilu yang rentan terhadap kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun