Dengan cara demikian maka incumbent tak perlu membuang banyak waktu untuk melakukan blusukan, pencitraan abstrak, distribusi hoax, money politic, atau strategi politik untuk menggalang suara karena personal branding sudah terbentuk dengan kinerja selama lima tahun. Jadi mestinya hari ini, para incumbent 'duduk manis' memetik hasil kerja selama lima tahun.
Namun yang terjadi hari ini justru berlainan. Para Caleg incumbent menelusuri setiap lorong perkampungan untuk mengais suara.Â
Pertanyaan yang muncul terhadap fenomena ini adalah mengapa mereka mesti melakukan kampanye? (Bukan berarti mereka tak boleh kampanye). Padahal masa lima tahun sudah sangat cukup bagi mereka untuk meyakinkan masyarakat dengan bukti kinerja di parlemen.
Fakta ini mendorong berbagai kemungkinan analisis liar yang muncul dan berpotensi merusak rekam jejak. Publik bisa saja menilai bahwa incumbent yang pusing tujuh keliling mencari suara adalah barisan incumbent yang gagal menjadi wakil rakyat selama lima tahun.Â
Artinya mereka tidak mampu bekerja dengan baik untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipertahankan. Incumbent jenis ini juga bisa dibaca sebagai incumbent yang hanya mementingkan keinginan 'perut' dan mengabaikan aspirasi yang dititipkan kepadanya.Â
Dan sejatinya ini adalah ciri dan penanda khusus bagi para incumbent yang gagal membangun kepercayaan publik melalui kinerja.
Dengan argumentasi apapun kita tidak dapat menyangkal bahwa kinerja lima tahun para incumbent adalah salah satu acuan pemilih dalam menentukan pilihan politik.Â
Sejalan dengan tingkat kecerdasan masyarakat dari waktu ke waktu, saya berkeyakinan bahwa publik akan melihat jelas karya nyata para incumbent dan akan 'menghukum; mereka pada saatnya di dalam bilik suara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H