Jumat (03/11/2023) pagi di Kantor Camat Wolowae, Nagekeo, NTT tampak berdatangan masyarakat Kaburea khususnya warga Desa Tendatoto dan Desa Tendakinde. Camat dan Sekcam Wolowae, Kapospol Wolowae, tim Yayasan Pugefigo, Â pemerintah desa, tokoh pendidik, dan tokoh-tokoh adat juga terlihat hadir di sana.
Memang waktu itu baru pukul 09.WITA tetapi terik panas yang menghantam wilayah Kaburea seakan membuat enggan warga untuk keluar rumah. Namun kepedulian terhadap mangrove yang terlihat kian menghilang di tepian Teluk Kaburea mendorong mereka untuk bergegas menuju Kantor Camat Wolowae.
Pagi itu Tim PKM STPM Santa Ursula dan Tim Peduli Mangrove berencana untuk melakukan FGD (Focus Group Discussion) yang melibatkan unsur-unsur di atas tepat pada pukul 09.00 WITA. Namun waktu yang telah ditetapkan itu terseret oleh karena harus menunggu kehadiran para undangan yang lain.
Tepat pukul 10.30 MC memulai pembukaan acara dengan mengundang Ketua Tim PKM STPM St. Ursula, Patrisius M. Botha S.Fil., M.Si dan Bapak Camat Wolowae, Gerardus M. Koro, S.Sos untuk memberikan sapaan awal. Selanjutnya sang fasilitator, Richard Toulwala, S.Fil., M.Si disilahkan untuk memfasilitasi proses diskusi tersebut.
Akademisi asal Lembata tersebut memulainya dengan menyentil mangrove sebagai bagian penting yang tidak lepas dari kehidupan di bumi  ini serta menyelipkan harapan agar hadirin dapat berkonsentrasi penuh dalam FGD tersebut. Selanjutnya Richard mengajak semua yang hadir membagikan macam-macam pengalaman, mulai dari yang mencerdaskan, membahagiakan, terkadang juga konyol, membuat sedih, hingga yang mistis berselimut misteri tentang penebangan mangrove di Teluk Kaburea.
Agar para hadirin berani dan terbuka untuk berdiskusi, Richard memberikan beberapa pertanyaan sebagai penuntun dalam diskusi tersebut. Bagaimana kondisi mangrove kita saat ini, bagaimana sumber daya manusia kita, bagaimana regulasi yang dibuat oleh pemerintah setempat, bagaimana sumber dana yang dikucurkan untuk mendukung rehabilitasi dan pemeliharaan hutan mangrove kita, adakah perubahan yang sudah kita lakukan dalam menjaga ekosistem hutan mangrove kita; semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijadikan panduan dalam diskusi.
Begitu kesempatan diberikan oleh fasilitator, mereka berlomba-lomba menunjukkan tangan untuk meminta giliran bicara. Â Beruntung sang fasilitator cerdas mengendalikannya sehingga semua unsur mendapat sesi untuk berbicara. Perlu diakui bahwa masyarakat di dua wilayah desa sekitar teluk itu memang secara turun-temurun menjalin hubungan erat dengan alam yang senantiasa menghidupi mereka sehingga ketika berbicara tentang alam mereka tentu memiliki sensitivitas yang tinggi.
"Kelompok ini sebagai triger awal untuk mengembalikan kelestarian mangrove," ucap Raimundus Minggu seorang utusan dari Yayasan Puge Figo yang bergerak di bidang ekologi memberikan apresiasi kepada tim peduli mangrove dari Kaburea.
"Kegiatan hari ini menjadi masukan untuk potensi kerja ke depan. Dalam survey, kami belum banyak temukan bahwa ada masyarakat yang mau ambil bagian untuk mangrove mulai dari pantai Ruing sampai pantai Maumere bagian utara. Peduli terhadap lingkungan kita adalah bagian yang penting, karena sekarang ini ada fenomena kerusakan hutan yang masif," tambah Raimundus Minggu.
Setelah giliran perwakilan Yayasan Puge Figo, kini giliran akademisi untuk berbicara. Patrisius M. Botha, S.Fil., M.Si berbicara sebagai ketua TIM PKM STPM Santa Ursula menyatakan bahwa setiap mitra masyarakat baik perguruan tinggi, sekolah, yayasan, atau komunitas-komunitas lainnya hendaknya menjalankan program dengan konsep pemberdayaan yang sesuai dengan tipologi masyarakat. Demikian pula, mitra harusnya hadir untuk memberdayakan bukan untuk memperdayai.