Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manajemen Konflik Politik Jelang 2024

14 April 2023   10:21 Diperbarui: 14 April 2023   10:26 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran-pemikian kedua filsuf di atas merupakan impuls yang sangat substansial dan relevan bukan hanya bagi masyarakat politik di masa mereka, melainkan juga bagi konteks politik di Indonesia hari ini.

Mampukah politisi kita mengelola konflik politik ala konflik orginal Heidegger? Mampukah para politisi kita melihat lawan politik bukan sebagai seorang musuh? Mampukah para politisi kita hari ini memaknai konflik politik sebagai upaya mengenal keterbatasannya sebagaimana konsep limited hostility? Atau mampukah politisi kita dapat menyerang lawan politik dengan tema-tema yang cerdas tanpa mempersoalkan status sosial, ras, suku, ataupun agama?

Pertanyaan reflektif di atas dapat dijawab dengan fakta manajemen konlik politik oleh para elite hari ini. Setiap orang tentu memiliki pandangan yang berbeda dengan cara penanganan konflik yang berbeda pula. Akan tetapi konflik politik yang menghasilkan perpecahan, adu jotos, perilaku barbar, praktek homo homini lupus adalah manajemen konflik yang keliru. Konflik politik bila dikelola secara benar maka akan menghasilkan berkah dan sebaliknya menimbulkan bencana.

Gagasan-gagasan di atas seyogianya menjadi inspirasi bagi kita dalam mewujudkan pertarungan politik yang sehat menjelang Pemilu 2024. Setiap bakal calon, partai politik, tim sukses mesti memandang lawannya secara rasional dan humanis, bukan melihatnya sebagai homo homino lupus sehingga mengahadapinya dengan perilaku barbar.

Lawan politik harus dilihat sebagai bagian dari diri yang membantu nalar menemukan kelemahan visi-misi dan program-program (corecctio fraterna). Di saat yang sama lawan politik dalam keterbatasannya mendorong kita untuk melampaui pemikirannya. Di saat itu juga kita bergerak melampaui diri kita.

Konflik politik mesti dilihat sebagai sebuah pertandingan politik yang layak dan berkualitas, bukan demonstrasi sentimental dan agresivitas yang destruktif. Yang dipertandingkan bukan agama, ras, suku, keluarga, status sosial, pertikaian fisik, hoaks, atau marginalisasi lawan dengan fitnah. Dalam konsep agonisme politik, yang dipertandingkan adalah kemampuan intelektual, kematangan emosional, moralitas, visi/misi, dan kebijakan.

Realitas konflik politik saat ini sebenarnya menelanjangi kelemahan kita dalam mengelola konflik. Konflik politik menghadirkan pemandangan politik yang kotor dan penuh dengan sentimen. Pemandangan ini tidak bisa dibiarkan karena masyarakat akan melihat dan menirunya. Sebuah pembelajaran politik yang tanpa akhlak.

Berpolitik membutuhkan kesadaran dan etika berpolitik. Hal ini hanya dapat terjadi bagi orang yang memberikan ruang yang luas bagi rasionalitas dan moralitas.

Kesadaran berpolitik tidak hanya pada politisi atau partai politik tetapi juga untuk masyarakat luas. Masyarakat perlu hati-hati memilih calon atau partai politik yang mendemonstrasikan kemarahan dan kebencian.

Setiap kita mesti elegan menghadapi konflik politik dengan cara pandang konflik original. Sebagai pelaku konflik kita sebisa mungkin berperan sebagai oposan atau politisi yang senantiasa memandang lawan sebagai bagian dari diri kita bukan musuh yang mesti dibenci dan dibinasakan.

Alhasil, pemimpin yang dipilih nanti adalah hasil dari proses politik yang demokratis, konflik yang sehat, rasional dan bermutu. Sebaliknya bukan pemimpin yang lahir dari proses politik yang penuh dengan caci maki, fitnah, hujatan dan tindakan amoral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun