Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kalap, NTT Zona Merah dan Fluktuasi (Fenomena "Keras Kepala")

2 Mei 2020   08:39 Diperbarui: 2 Mei 2020   09:07 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Pribadi, Situasi di area Toserba Sinar Mas, Ende (30/4/2020)

(Samber 2020 Hari 6 & Samber THR)

Fenomena kalap yang menggelikan saat ini marak temukan di Flores (NTT) khususnya di Kota Ende. Bayangkan, di tengah realitas melonjaknya angka kematian karena virus corona, dan fluktuasi harga  yang tak menentu tidak menyurutkan gairah belanja warga Flores, khususnya di Kota Ende.

 Dua hari lalu (31 April 2020), NTT kembali ke zona merah daerah terpapar corona setelah Kepala Dinas Kesehatan NTT, Dominggus Mere mengumumkan ada 9 orang yang positif terpapar corona. Seketika itu media sosial dihebohkan oleh berbagai postingan yang menakutkan akan masa depan penduduk di nusa cendana ini.

Terhadap zona merah NTT, warga Kota Ende menanggapinya biasa-biasa saja. Mereka tak bergeming dan tenggelam dalam aktivitas keseharian. Orang Ende malahan menciptakan fenomena kalap yang berlebihan. Hampir di setiap sudut kota pancasila orang sibuk menjajakkan makanan untuk buka puasa atau pun sahur.

Demikian pula di pasar Potulando, pasar Ende dan pasar Wolowona, fenomena kalap belanja makanan nyata di sana. Padahal, ancaman pandemi ini setidaknya bisa memberikan anxiety effect kepada kita untuk tidak keluar rumah agar terhindar dari paparan virus corona.

Selain ancaman virus corona, fluktuasi sembako juga diperkirakan oleh para ekonom bakal menghilangkan kalap belanja makanan. Namun fluktuasi malah ditertawakan oleh warga. Harga yang menanjak tak mampu membantai nafsu makan. Penghematan terhadap belanja yang tak perlu bukanlah hal penting melainkan kepuasan saat ini. Yah selagi ada uang, itu prinsip kita orang Flores yang tak kita sadari, namun ternyata prinsip itu menenggelamkan kita dalam kemiskinan berlarut-larut. Dan kita enggan menyadari itu.

Dok Pribadi, Situasi di area Toserba Sinar Mas, Ende (30/4/2020)
Dok Pribadi, Situasi di area Toserba Sinar Mas, Ende (30/4/2020)

Terhadap fenomena kalap belanja makanan di masa pandemi corona dan bulan suci Ramadan, saya memiliki satu asumsi. Ya, cukup satu meskipun ada ruang kemungkinan yang memuat asumsi lain, tetapi kali ini saya membedahnya dari satu asumsi, yakni keras kepala.

Terkadang 'keras kepala' kita (orang Flores khususnya Ende) tidak didukung dengan rasionalitas secukupnya. Akal sehat rapuh karena determinasi sikap angkuh dan keras kepala berlebihan. 'Keras kepala' menyediakan ruang kemungkinan untuk menampung aktivitas kejahatan dan menolak akal sehat. Oleh karena itu dampak terburuk dari keras kepala adalah kematian rasionalitas.

Tentang kematian rasionalitas, Arendt menyebut bahwa hal itu disebabkan oleh absennya kesadaran kritis dan imajinasi. Dia lantas menyebutnya, 'ketidakberpikiran'. Ketidakberpikiran membangkitkan insting predator sehingga kejahatan menjadi banal daan menyenangkan.

Artinya keras kepala sesungguhnya menyimpan stok kejahatan yang berlimpah ruah. Sebagai misal; tidak mau mendengarkan orang lain, tidak patuh terhadap aturan, ingin menang sendiri meskipun salah, protes tanpa nalar dan lain-lain adalah sikap keras kepala yang berpotensi mengakibatkan kejahatan.

Kembali kepada fenomena kalap belanja makanan di Ende dan Flores pada umumnya. Fenomena belanja makanan 'sampai lupa diri' bukan soal 'uangnya saya', bukan juga soal kemampuan dan pembuktian status sosial, melainkan soal keselamatan banyak orang. Mengapa? Ketika lebih dari beberapa orang kalap belanja di suatu tempat, di situlah mereka sedang menciptakan keramaian dan perkumpulan yang berpotensi mempercepat penularan covid-19. 

Selain itu, bila kita berpikir taktis maka sebenarnya masa ini adalah waktu yang paling tepat untuk melakukan penghematan. Kita belum tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Mungkin bisa berakhir tahun ini dan mungkin juga beberapa tahun lagi. 

Setidaknya dengan hidup hemat, kita masih mengantongi seribu, dua ribu untuk mempertahankan nyawa pada kondisi yang terburuk di masa pandemi. Oleh karena itu kalap belanja sesungguhnya sebuah pemborosan yang bisa menjadi petaka. Bila penulis diijinkan untuk menganjur, belanjalah sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan.

Kita tiba pada sebuah konklusi sederhana bahwa kalap belanja sesungguhnya dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun bila kita tetap teguh memegang prinsip bahwa kalap didasari oleh kemampuan ekonomi pribadi maka hal itu menunjukkan bahwa kita kurang peka dengan situasi dan tegar hati.

Ketegaran hati untuk tidak mendengarkan orang lain, instruksi pemerintah dan anjuran publik adalah cerminan keras kepala yang paling nyata. Keras kepala berpotensi menimbulkan kejahatan. Dan keras kepala adalah bukti absennya akal sehat dalam rongga batok kepala kita. Bersediakah kita disebut keras kepala yang sama artinya dengan 'kurang otak'? Intensitas kalap belanja makanan kita yang akan menjadi jawaban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun