Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Harapan Ramadan dari Seorang Non Muslim

27 April 2020   08:46 Diperbarui: 27 April 2020   08:39 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Samber 2020 Hari 1 & Samber THR) 

Saya memulai tulisan ini dengan respek yang sangat tinggi terhadap sesama dan keluargaku yang beragama Muslim. Bangga bagiku ketika sebagai seorang Katolik, saya menulis sebuah harapan Ramadan, bulan penuh berkah, yang mungkin saja mewakili harapan semua umat manusia.

Sebagaimana saya merayakan Paskah kemarin secara online, di mana perayaan Paskah dilakukan melalui pertemuan virtual yang ditandai dengan konektivitas internet, sesama umat Muslim juga pasti membuka puasa kali ini dengan cara yang sama. 

Ketidaklaziman ini tentu membawa ketidaknyamanan bagi kita, namun sesungguhnya bila ibadah dan puasa dihayati dengan sungguh-sungguh maka kelaziman dan tidak lazim hanyalah sebuah perbedaan tanpa makna.

Kondisi ini juga terjadi di belahan bumi lain dan penyebabnya juga hal yang sama yakni pandemi covid-19 atau lebih familiar disebut virus corona.  

The Guardian tanggal 23 April 2020 menarasikan seorang  Muslim bernama Haista Shiraz (Umur 34 tahun). Dia tidak mempunyai keluarga di daerah Westchester, Manhattan utara. Lima tahun lalu setelah bercerai dengan suaminya, janda malang ini meninggalkan kampung halamannya di Atlanta, Georgia, dan kemudian menetap di New York, satu-satunya tempat lain yang terdapat sanak keluarganya.

Sayangnya, di New York, janda miskin itu membesarkan kedua anaknya dengan susah payah. Minimnya relasi dengan sesama dan perhatian dari keluarganya menyebabkan Shiraz menyendiri di setiap bulan Ramadhan.

Singkat cerita, tahun ini bakal menjadi bulan Ramadhan yang paling sulit baginya karena kesulitan berinteraksi setelah pemerintah menyerukan lock down.

Kisah Shiraz yang malang itu juga mudah ditemukan di Indonesia, yah, negeri kita yang juga tak luput dari 'iblis' covid-19. Hanya saja Shiraz lainnya di Indonesia cenderung menyasar di desa, kampung dan pedalaman yang terisolir sehingga luput dari liputan pers. Maklum saja di negeri ini, kota biasanya lebih empuk disasar pers dari pada kampung.

Dalam bulan yang suci ini, saya cukup yakin bahwa banyak konten doa tak menyasar jauh dari penghindaran terhadap ancaman virus corona. 

Kisah Shiraz tadi adalah efek dari kegelisahan dan kepanikan terhadap ancaman wabah itu, karena itu bisa dipastikan bahwa Shiraz dan kedua anaknya juga memohon agar covid-19 ini segera berakhir. 

Saya, penulis artikel ini juga mengharapkan yang sama. Pada bulan yang sangat suci ini harapan akan hilangnya covid-19 terpatri.

Sebagai non muslim yang memahami bahwa puasa dan ibadah di bulan suci ini mampu membawa berkah maka harapan saya tertuju kepada doa-doa umat Muslim. 

Tentu harapan ini bukan saja harapanku, melainkan harapan kita semua, harapan dunia. Tidak berlebihan bila kemudian saya mengatakan bahwa dunia sedang berharap pada puasa dan doa umat Muslim di bulan Ramadan.

Ramadan adalah waktu puasa, doa dan kontemplasi.  Ini adalah momentum refleksi tentang  kepasrahan pada kehendak Allah dan belas kasih terhadap sesama. Kepasrahan dan penyerahan diri kepada Allah akan diuji. Olehnya harapan dunia bisa bergantung pada  bulan suci ini.

Harapan ini adalah sebuah doa. Oleh karena harapan juga adalah doa maka kesakralan harapan itu juga mesti diuji. Harapan akan pupusnya covid-19 di tengah ancaman pandemi yang semakin menggila tentu bukan hal yang gampang. Namun jika kesakralan harapan itu dijaga sedemikian rupa maka bukan tidak mungkin sesuatu yang mustahil bakal terjadi.

Sakralitas harapan bukan sesuatu yang istimewa dan dibumbui konsep teologis, melainkan dapat terbaca dalam kesetiaan kita pada instruksi pemerintah untuk melakukan lock down dan social distance. Loyalitas pada perintah untuk memakai masker, cuci tangan, hindari kerumunan dan perintah lain untuk memutus rantai penyebaran covid-19 juga adalah ujian terhadap kesakralan harapan kita.

Harapan saya dan dunia yang dibebankan pada pundak umat Muslim akan menjadi sia-sia bila para pengharap sendiri melanggar kesakralan harapannya. Puasa, doa dan kontemplasi oleh umat Muslim pada bulan suci ini justru legitimated dengan loyalitas kita terhadap apa yang telah saya sebutkan sebagai sakralitas harapan.

Di akhir tulisan ini, saya masih setia pada satu harapan yang sudah saya gantungkan pada puasa, doa dan kontemplasi sesamaku Muslim. Puasa mengajarkan kita akan kesabaran dan menahan diri. 

Doa mengajarkan kita kepasarahan dan penyerahan diri. Semoga di bulan suci Ramadan ini, ekspektasi seorang non Muslim ini dan mungkin juga menjadi harapan dunia ini dibawa dalam puasa dan doa saudara umat Muslim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun