Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demonstrasi Minus Nalar dan Kematian Tuhan

3 Oktober 2019   12:27 Diperbarui: 3 Oktober 2019   12:50 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini terlahir dari sebuah kegelisahan terhadap eksistensi mahasiswa terkini.  Saya memulainya dengan perkataan Bung Hatta bahwa mahasiswa adalah akal dan hatinya rakyat. Sayangnya belakangan ini akal sehat dan hati nurani rakyat mengalami kebangkrutan, mengapa? Jawabannya sederhana, karena mahasiswa sebagai reinkarnasi akal sehat dan hati rakyat telah menciderai dirinya melalui brutalitas demonstrasi.

Demonstrasi kekinian tak lagi esensial dan kehilangan fungsi morality presure karena diwarnai aksi anarkis, cerminan kemiskinan moralitas dan akal sehat. Ironisnya, mahasiswa sebagai output kampus yang memproduksi akal sehat dan moralitas justru menjadi aktor utama brutalitas atas nama suci demokrasi.

Berkaitan dengan RKUHP dan revisi UU KPK, hemat saya, perlu adanya perlawanan dan dinamika protes sebab 26 poin berpotensi melemahkan KPK yang adalah aktor utama pemberantas KKN di negeri ini. 

Selain itu RKUHP juga menuai kontroversi. Menurut Yati Andriyani, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan RKUHP tersebut berpotensi merusak komitmen bernegara untuk melindungi politik warga (kompasiana.com).

Oleh karena itu saya sepikiran dengan mahasiswa yang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi, setidaknya mampu memberikan morality presure kepada pengambil kebijakan tetapi tidak dengan demonstrasi anarkis. 

Ketika demonstrasi diarahkan pada brutalitas maka yang terjadi adalah demonstrasi kekuatan. Demonstrasi yang tak ada bedanya dengan hutan belantara, tempat beradu fisik para binatang buas.

Dengan demikian tulisan ini memberikan penekanan pada demonstrasi anarkis yang tak pantas dilakukan oleh mahasiswa yang adalah akal sehat dan hati nuraninya rakyat Indonesia.

Perusakan terhadap fasilitas negara yang dibeli dengan menggunakan uang rakyat mengekstraksikan bahwa para demonstran tak lagi memerankan diri sebagai reinkarnasi akal dan hati rakyat.

Minus nalar (kekurangan akal sehat) dalam demonstrasi mempersepsikan mahasiswa tak cerdas dalam menyampaikan aspirasi, sementara 'tak berhati' memberi kesan bahwa mahasiswa tak memberi ruang bagi pertimbangan moral. Demonstrasi tak bermoral sama dengan memproklamirkan kematian Tuhan yang semestinya hidup dan bersemayam dalam hati nurani setiap manusia.

Defisit Stok Akal Sehat

Parade panjang demonstrasi penolakan RKUHP dan revisi UU KPK menampilkan brutalitas dan tingkah anarkis dari para demonstran yang katanya mahasiswa. Atas nama suci demokrasi, anarkis dan brutalitas seolah-olah diizinkan dan mendapat ruang. Padahal brutalitas dan anarkis tersebut adalah bentuk kemunduran peradaban dan kegagalan humanisme dalam pendidikan.

Filsuf wanita keturunan Yahudi, Hannah Arendt dalam karyanya, The Life of Mind, menjelaskan tentang brutalitas, kejahatan, anarkis dan hal sejenisnya sebagai 'banalitas'. Menurutnya, orang melakukan kejahatan dan tindakan banal lainnya disebabkan emptiness of thought (kekosongan daya pikir). Demikian muasal sebuah kejahatan menurut Arendt yang bukan dari the unconscious melainkan karena stok akal sehat yang sudah menipis.

Atas dasar argumentasi itu, maka pertanyaan yang bakal muncul adalah pantaskah kemudian mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi anarkis masih dijadikan sebagai otaknya rakyat? Saya meragukannya karena kualitas otak yang rendah tak akan berfungsi maksimal dalam menyampaikan pesan tulus rakyat yang dititipkan kepada mereka.

Aspirasi akan mengalami distorsi karena cara penyampaian aspirasi tidak menggunakan akal sehat melainkan kekuatan fisik yang menimbulkan kekacauan publik. Terhadap hal ini, Hobbes menyebutnya sebagai leviathan, manusia yang memiliki insting predator.

Para pelaku anarkis di demonstrasi tersebut mendegradasi status kemanusiaan mereka. Aspirasi masyarakat yang dititipkan kepada mereka direduksi menjadi perlawanan fisik dan destruksi total. Reduksi tersebut bisa digerakkan oleh ideologi politik yang salah atau ideologi radikal agama (Tan, 2018:36).

Pada konteks tersebut, mahasiswa mencorengi wajah sendiri di hadapan publik. Akal sehat macet dan tak berfungsi karena memang stok pengetahuan sudah mulai terbatas dan yang tersedia hanya ruang kosong yang mudah diinjeksi dengan ideologi radikalis dan ditumpangi kepentingan tokoh-tokoh di labirin gelap.

Lalu, apakah mahasiswa terus bertahan dalam emptiness of thought ? Kita semua adalah pelaku peradaban. Bila menuntut mahasiswa lebih giat menambah kompetensi maka kampus dan lembaga pendidikan yang memproduksi pengetahuan dan moralitas juga harus berbenah. Bukan hanya itu, pemerintah Indonesia pun perlu tegas membersihkan lembaga pendidikan dari ideologi-ideologi radikal yang belum tersingkap.

Absennya Moral dan Kematian Tuhan 

Kematian Tuhan sesungguhnya bukan ide baru. Friedrich Wilhelm Nietzsche menjadi booming ketika keberaniannya menentang keputusan-keputusan gereja kristen pada zamannya. Salah satu quote-nya yang paling terkenal adalah 'Tuhan telah mati' yang diulas dalam the gay science. Di sana ia menarasikan seorang gila yang berteriak tentang kematian Tuhan.

Dalam karyanya itu Nietzsche tidak membentuk opini peniadaan Tuhan, melainkan memperkenalkan penemuannya tentang Tuhan yang telah mati dalam jiwa-jiwa orang di zamannya. Dengan kata lain manusia yang membunuh Tuhannya sendiri.

Kematian Tuhan yang diproklamirkan oleh Nietzsche tersebut dapat ditarik dalam konteks demonstrasi anarkis. Bahwasannya para demonstran yang melakukan aksi anarkis tidak melakukan pertimbangan moral. Pertimbangan moral sama dengan dialog hati yang menghadirkan bisikan Tuhan. Tanpa intervensi Tuhan, pertimbangan moral dieksploitasi oleh kepentingan-kepentingan politis karena ruang publik memungkinkan multi kooptasi.

Brutalitas demonstrasi mengindikasikan bahwa demokrasi kita sudah kebablasan. Terhadap hal ini Claude Lefort mengelaborasi genealogi demokrasi moderen sebagai produk dari tragedi 'kematian Tuhan' (Tan 2018:34).

Lefort secara gamblang menyatakan bahwa ruang publik sebagai arena demokrasi adalah ruang dari absennya Tuhan dalam kebebasan manusia. Dalam arti yang sama, Heidegger (filsuf postmodernisme) mengartikan ruang publik sebagai ruang kejatuhan demokrasi.

Skeptis yang dilontarkan Heidegger dan Lefort tentang dampak kejahatan ruang publik dan kekecewaan terhadap demokrasi bukan tanpa alasan. Di negeri kita, ramalan kedua filsuf tersebut sudah terbukti kebenarannya. Demokrasi, ruang publik dan kebebasan sama-sama berkontribusi dalam proses kematian Tuhan.

Demokrasi memberikan kebebasan bagi para demonstran untuk menyampaikan aspirasi di ruang publik. Ketika kebebasan tidak memberikan ruang bagi pertimbangan moral maka serentak terjadi penyangkalan akan eksistensi Tuhan. Dengan demikian terjadi kematian Tuhan. Tuhan tak lagi diakui karena subyek tak pernah melakukan refleksi dan dialog hati sebelum melakukan sesuatu.

Kebebasan lantas tak memiliki aturan main yang jelas dan ruang publik dijadikan sebagai tempat pembunuhan demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain demokrasi bisa melenyapkan dirinya sendiri.

Pada akhirnya, apakah kita masih menganggap bahwa mahasiswa yang melakukan tindakan anarkis dalam demonstrasi tersebut adalah hatinya rakyat Indonesia? Saya meragukannya karena mereka telah mendisfungsikan peran hati mereka. Bahkan Tuhan sudah mati dalam hati nurani sehingga mudah dikuasai oleh brutalitas dan anarkis.

Lagi-lagi kesalahan tidak bisa ditimpahkan mutlak kepada para mahasiswa. Lembaga pendidikan tempat memproduksi pengetahuan dan moral harus memposisikan diri sebagai verifikator output yang rasional sebelum melepaskan mereka ke dunia kerja.

Pemerintah juga tak boleh lengah bila eskalasi kejahatan demonstran sudah mencemaskan publik. Kebijakan dan rangkaian keputusan mesti dipertimbangkan secara holistik. Termasuk di dalamnya pembenahan lembaga pendidikan tinggi yang lemah dalam memproteksi kampus dari ideologi radikalis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun