Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Ormawa STPM Cup dan Intensifikasi Pemaknaannya

27 September 2019   07:24 Diperbarui: 27 September 2019   07:40 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Dok.Pribadi

Selama 22 tahun berturut-turut STPM St. Ursula Ende secara konsisten  menyelenggarakan Turnamen Bola Volley putra-putri di tingkat pelajar SMU dan tingkat Perguruan Tinggi di daratan Flores. 

Perhelatan akbar yang dinahkodai oleh ORMAWA (Organisasi Mahasiswa) STPM Santa Ursula ini merupakan sebuah pesan yang disampaikan kepada masyarakat luas bahwa olahraga tak sekedar merebut trofi dan sejumlah uang melainkan memiliki makna dan spirit tersendiri dalam keberadaannya. Entah disadari atau tidak, pesan tulus yang disampaikan dalam STPM Cup ini seakan sirna dan terkerus oleh waktu.

Mungkin karena termakan usia dan dinamika dalam perjalanannnya, STPM Cup sejurus mengalami  distorsi makna dan hanya mencerminkan riuh rendahnya tepukan tangan dan sorak-sorai para penonton. 

Namun sesungguhnya tak cuma itu, ada serangkaian nilai-nilai dan makna filosofis dalam perhelatan akbar ini yang belum disingkap secara utuh kepada publik.

Ada semacam gejala yang menyepelekan turnamen ini dan kecenderungan menggunakannya dalam pemaknaan tunggal sebagai ajang hura-hura. Hal ini tak boleh terjadi dan mesti dikemas kembali pemaknaannya yang lebih intensif dan yang mampu mengubah pola pikir serta menciptakan kultur baru dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.

Sejauh ini turnamen dalam olahraga dimaknai hanya sebagai medan pengembangan minat dan bakat serta pembentukan mental bagi para atlit. Pemaknaan ini pun mulai perlahan tergerus oleh ambisi meraih trofi dan sederet hadiah lainnya yang memicu konflik.

Ketika muatan kompetisi olahraga diarahkan pada konflik maka yang terjadi hanyalah sebuah demonstrasi kekuatan. Jika demikian maka dunia Olahraga tak bedanya dengan hutan belantara yang menjadi medan perjumpaan sekumpulan binatang buas.

STPM St. Ursula Cup tidak mendangkalkan makna kompetisi hanya pada pengembangan minat dan bakat serta mental, melainkan pada beberapa hal vital.

Membangkitkan Gelora Altruisme

Masihkah tersenggol di pikiran kita pada nama Rudy Hartono? Atlit Indonesia yang memenangi All England pada tahun 1968. Kala itu para anggota MPRS yang terhormat, tengah mengikuti Sidang Umum berhenti sejenak untuk memberikan aplaus tatkala berita kemenangan Rudy Hartono masuk ke dalam ruangan itu. 

Tujuh tahun kemudian, Rudy Hartono kembali membuat geger republik ini karena kekalahannya dari Sven Pri di arena yang sama menyebabkan seorang penggemarnya dari negeri ini tewas karena shock (Prisma, Mei 1978).

Dalam dunia olahraga, kasus Rudy Hartono ini tak bisa dihindari dalam pertandingan apa pun. Perlu diakui bahwa peserta yang mengikuti turnamen ini mewakili kelompok tertentu untuk berjuang dan membuktikan kepada publik bahwa mereka lebih baik dari yang lainnya. Di belakang mereka ada deretan suporter yang 'berani mati' untuk memberikan semangat. 

Dukungan dan tanggung jawab terhadap kelompok itulah yang membangkitkan gelora altruisme, paham atau sifat yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok dari pada diri sendiri seperti yang ditunjukkan Rudy Hartono dan para pendukungnya di tanah air ini kala itu.

Altruisme adalah prototipe pembentukan semangat nasionalisme. Di ajang ini pula spirit nasionalisme bakal ditumbuhkan untuk setidaknya menyediakan stok nasionalisme yang belakangan ini mulai jarang ditemukan di pelosok lokalitas negeri ini. Yah, nasionalisme jarang ditemukan karena memang bangsa ini gemar sekali melupakan para penjasanya.

Penggalakan Sport Tourism

Olahraga kekinian tak bisa dinafikan dengan unsur politik dalam konteks umum. Bahkan, olahraga sudah diintervensi oleh tangan-tangan korporasi. Akibatnya olahraga semacam investasi untuk meraih keuntungan seperti branding kota, pariwisata dan devisa sehingga banyak pihak yang tergiur untuk terlibat. Sebut saja artis, media cetak, media elektronik, sponsor, transportasi, akomodasi dan lain sebagainya.

Sport tourism juga sebetulnya sudah lama menggejala di setiap kompetisi di lokalitas Flores ini, namun tak banyak yang menyadari itu. Padahal itu adalah potensi ekonomi yang tak terbantahkan. Sport tourism merupakan  kegiatan wisata yang dipadukan dengan kegiatan olahraga atau berolahraga sambil berwisata.

Banyak negara-negara yang berebutan menjadi tuan rumah penyelenggara ajang olahraga level inernasional untuk mendapatkan devisa. Contoh di depan hidung kita adalah Singapura, negeri kecil yang cerdas. Tetangga kita itu mampu memanfaatkan peluang untuk meraup devisa melalui Grand Prix Formula One World Championship. 

Di ajang itu, Singapura mampu menggiring para wisatawan domestik maupun manca negara dengan memadukan pariwisata yang dikemas secara baik, penjualan tiket dengan sistem satu paket yaitu penerbangan, acara, tempat wisata, dan akomodasi dijadikan satu harga sehingga terkesan murah. 

Semuanya itu berdampak pada bertambahnya devisa. Di Indonesia juga pernah dilakukan hal semacam itu seperti Tour de Singkarak, meskipun tidak segemilang Singapura.

Terlalu jauh bila keberhasilan Singapura dibandingkan dengan STPM Cup dalam hal sport tourism. Akan tetapi riak-riak sport tourism telah muncul di sana. 

Kuliner-kuliner yang ditawarkan di dalam lokasi turnamen dan souvenir tentunya akan membuat wisatawan lokal tertarik ke sana. Dengan itu ada pembelajaran bagi publik bahwa sudah saatnya sport tourism mulai digalakkan dalam setiap ajang olahraga.

Membangun Karakter

UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai setiap aktivitas fisik seperti permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain atau pun diri sendiri (Rusli dan Sumardianto, 2000:6). Kata kunci dari pengertian tersebut adalah 'melawan' (perlawanan).

Keyword ini mengingatkan saya pada seorang filsuf Yunani pada era 540 SM yang bernama Herakleitos. Si gelap (ha skoteinos) julukan Herakleitos, mengemukakan ide kontroversial tentang 'pertentangan' (polemos). "perang adalah bapa semuanya dan raja semuanya", demikian tulisnya dalam fragmen 53 (Tan, 2018:17).

Pemikiran ini merupakan anti tesis dari pemikiran Homerus yang mengklaim peperangan bakal berakhir dari antara dewa-dewa dan manusia. Bagi Herakleitos, pertentangan bukanlah konflik yang memicu khaos melainkan prinsip kosmologis pertentangan yang mana oposan lain menegaskan oposan lain. 

Pertentangan bukan konflik destruktif, kejam dan brutal melainkan konflik yang membawa diri dan 'lawan diri' menstimulasi penegasan eksistensi melampaui dirinya (bdk. Tan, 2018:18).

Pertentangan yang diuraikan Herakleitos di atas membawa relevansi yang signifikan dalam turnamen STPM cup. Bahwasannya pertentangan yang terjadi di lapangan bukanlah pertentangan yang destruktif melainkan pertentangan yang dalam istilah filsuf Jerman, Heidegger disebut konflik original. 

Konflik original adalah konflik yang mengkonversi brutalitas menjadi karakter baru, yang mana karakter itu diperoleh setelah konflik itu menyadarkan subyek dari kelemahan diri.

Pertentangan atau pertarungan di lapangan bukan saja menghadirkan konflik yang kemudian dengan mudah diselesaikan dengan silahturahmi, jabat tangan atau petuah bijak dan moral dari para pelatih serta manajer. 

Pertandingan tersebut niscaya melahirkan karakter baru sebagai pembelajaran dari sebuah kompetisi, seperti sportivitas, daya juang, team work dan lain-lain.

Servite et Amate

STPM Santa Ursula yang diisi oleh prodi pembangunan sosial dan prodi ilmu pemerintahan mengedepankan aspek pemberdayaan sebagai trademark yang terjual laris di masyarakat. 

Dalam memproduksi kader-kader pemberdayaan, STPM menanamkan nilai Keursulinan seperti Servite et Amate (Layanilah dan Cintailah). STPM memastikan bahwa output yang keluar dari rahimnya adalah kader pemberdaya yang selalu siap melayani dan mencintai masyarakat.

Ajang ini adalah salah satu bentuk penanaman nilai Servite et Amate. Mahasiswa dilatih untuk melayani pengembangan bakat peserta turnamen dan memastikan diri mereka untuk selalu mencintai sesama. 

Di dalam pelayanan dan cinta, tak ada tempat bagi konflik yang destruktif. Keseringan melayani dan mencintai akan membiasakan mereka untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemberdaya masyarakat yang sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun