Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dirgahayu ke-74 RI, Kita Belum Merdeka untuk Berpikir

17 Agustus 2019   16:53 Diperbarui: 19 Agustus 2019   07:10 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah terlalu klise untuk menyebut bahwa negara kita Indonesia sudah merdeka dari seluruh lini kehidupan. Sudah terlampau sering pula kita membanggakan diri dengan sebutan orang-orang merdeka.

Sedemikian seringnya ucapan-ucapan itu dilontarkan dari mulut ke mulut, sehingga kemerdekaan disadari sebagai taken for granted. Padahal, kemerdekaan mengandung nilai yang otokhton dan bebas dari dirinya sendiri.

Bila demikian, maka pantaskah kita menamakan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka? Mari kita temukan jawabannya.

Tepat 74 tahun yang lalu mendiang bung Karno dan bung Hatta sukses memproklamirkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Lahirnya Indonesia sebagai bangsa yang merdeka adalah konsekuensi logis dari perjuangan.

 Kemerdekaan yang waktu itu dinilai sebagai bebas dari penjajahan dan perbudakan bangsa asing terseret begitu saja dari zaman ke zaman. Eksistensi bangsa Indonesia yang menampung seluruh perbedaan, suku, agama, ras, bangsa dan budaya, diakui oleh bangsa-bangsa di dunia. Sebegitu megahnya kemerdekaan kita, lantas diwariskan secara turun temurun sebagai sesuatu yang harus diterima tanpa pernah dikritisi.

Memang kemerdekaan RI dari penjajahan adalah fakta tak terbantahkan dan tanpa kepalsuan. Namun siapakah yang mampu menjamin bahwa pasca proklamasi, totalitas kemerdekaan sungguh dialami oleh bangsa ini? Saya dan barangkali pembaca menyangsikan bahwa 74 tahun kita hidup dalam kemerdekaan yang total tanpa kepalsuan.

Apabila ada kesangsian maka kesangsian itu perlu dibuktikan dengan dalil logis dan rasional sebagai indikator penyangkalan terhadap kemerdekaan. Bahwasannya bukti-bukti tersebut dapat memberikan data yang eviden kepada publik bahwa memang 74 tahun ini kita masih hidup dalam kemerdekaan yang palsu.

"Penjara" Berpikir

Indonesia dalam konteks bonum communae atau the good life memang jauh panggang dari api. Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh bung Karno seolah dipasung dan mengalami distorsi karena kebebasan berpikir kita sedang dipenjarakan. Padahal menurut fisuf Perancis, Rene Descartes, berpikir adalah cara menemukan kebenaran. Jadi, bila kebebasan berpikir dikekang maka terjadilah devisit kebenaran.

Kemerdekaan sudah menginjak usia 74 tahun, namun kita belum merdeka untuk berpikir. Proses berpikir kita masih dikendali oleh presure pemikiran ruang publik. Loyalitas buta terhadap otoritas, kepatuhan pada moral tradisional yang tak lagi relevan dan ketaatan total terhadap figur-figur tertentu mencederai proses berpikir kita. Kita tak lagi berpikir secara otonom melainkan kolektif dan mewakili kepentingan tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun