Hikmah ibadah adalah manfaat atau nilai tambah di luar tujuan yang diperoleh dari dari pengamalan beribadah. Oleh sebab itu hikmah bukan tujuan. Tujuan ditetapkan oleh Allah, sedang hikmah bersifat subyektif dari pengalaman keberagaman dalam penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah. Artinya masing-masing orang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda dalam melihat hikmah suatu ibadah. Perbedaan itu didasarkan pengetahuan dan pengalaman keberagamannya, seperti seorang pendidik berbeda dengan seorang dokter dalam melihat puasa umpamanya.Â
Sedang masyarakat awam akan kesulitan mengungkap hikmah-hikmah puasa karena tidak memiliki pengetahuan yang cukup, atau tidak memiliki pengalaman keberagaman yang mendalam. Ibadah puasa menyimpan banyak nilai-nilai kehidupan, baik yang berhubungan dengan ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, pendidikan, psikologi, dan lain-lain. Apabila digali lebih dalam, maka akan ditemukan hikmah-hikmah yang sangat berharga.
Kali ini dikemukakan hikmah puasa ditinjau dari pendidikan:
1. Mendidik Kejujuran
Berpuasa tidak ada seorang pun yang mengawasinya, kecuali barangkali dari pihak keluarga. Orang tua adalah pihak yang paling berhak mengawasi puasa putra-putrinya. Begitu keluar rumah, orang tua kehilangan pengawasan. Sebetulnya di dalam rumahpun bisaberbuka puasa. Berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan sangat mudah dilakukan. Mengapa hal itu tidak dilakukan? Jawabannya singkat Karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Manusia dapat berbohong kepada orangtua, berbohong kepada isteri / suami, dan berbohong kepada masyarakat. Tetapi manusia tidak akan bisa berbohong kepada Allah.
Puasa mendidik kita untuk jujur. Jujur kepada siapa saja. Jujur terhadap diri sendiri, jujur terhadap orang lain, lebih lagi jujur terhadap Allah SWT. kejujuran yang diperoleh dari pelaksanaan ibadah puasa ini bila segera diterapkandalam kehidupan pasca Ramadhan akan memberikan kontribusi yang berharga bagi penciptaan tata kehidupanyang adil, bersih, dan beradab.
2. Mendidik Kedisiplinan
Disiplin adalah sikap tunduk dan patuh terhadap peraturan yang berlaku. Pelaksanaan ibadah puasa menuntut kedisiplinanyang tinggi. Seseorang yang telah melanjutkan makan  dan minum. Setelah masuk batas waktu imsak, dinilai tidak disiplin sehingga puasa untuk hari itu dianggap batal walaupun hanya melewati waktu waktu beberapa menit saja. Dalam ibadah puasa, disiplin diri dan disiplin waktu seharusnya menjadi perhatian serius agar puasa mencapai tujuan. Kedisiplinan yang diperoleh dari pelaksanaan ibadah puasa ini sungguh sangat berharga bagi kemajuan diri pribadi, masyarakat, negara, dan agama.
3. Mendidik Kesadaran Akan Kemampuan dan Batas Kemampuan Pribadi
Allah membolehkan orang sakit dan orang yang bepergian untuk berbuka puasa (Q.S.2: 184). Pemberian keringanan atau rukhsah dalam ayat 184 surat Al-Baqarah itu tidak dijelaskan secara rinci tentang batasan sakit dan batasan jarak tempuh dalam bepergian. Batasan sakit dan batasan jarak tempuh diserahkan kepada manusia. Manusia dituntut untuk menyadari akan kemampuan dan batas kemampuan diri pribadinya. Manusia harus jujur, apakah sakit yang diderita atau perjalanan yang sedang ditempuh memberatkan dirinya untuk berpuasa atau tidak. Dari sini setiap manusia harus menyadari kemampuan dan batas kemampuan yang dimilikinya.
Dengan kita mengetahui kemampuan dan batas kemampuan diri kita, kita dapat menentukan pilihan, apakah berpuasa atau berbuka. Ayat tersebut menginformasikan bahwa berpuasa lebih baik. Ini berarti, bahwa manakala mampu berpuasa, maka diutamakan berpuasa. Kadang bisa terjadi, ketidakmampuan seseorang tetapi dengan niat dan semangat iman dan ihtisaban (penuh kesungguhan) mengalahkan segalanya termasuk nasehat dokter.