“Apa nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga anda?”
Suatu hari di ruang perkuliahan, saya dan teman sekelas mendapatkan pertanyaan tersebut dari Dosen ketika tatap muka pertama di kelas. Dosen saya tersebut mengajar mata kuliah Sistem Politik dan Administrasi Negara Indonesia. Saya tercekat sejenak, saya tak menyangka jika kami akan mendapatkan pertanyaan seperti itu, kami mengira akan mendapat pertanyaan seputar Lembaga-lembaga pemerintahan atau kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini, namun kami salah, kami justru mendapat pertanyaan di luar dugaan, tentang nilai dalam sebuah keluarga. Sebuah pertanyaan sederhana, namun bermakna dalam sehingga butuh waktu untuk berpikir, nilai-nilai apa saja yang telah diajarkan di keluarga kami? Dan apakah nilai-nilai itu benar-benar telah menyatu dalam hidup sehari-hari kami?
Setelah bertanya, Dosen kami tersenyum penuh arti seolah mengetahui bahwa kami agak kebingungan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dosen kami pun kemudian menjelaskan bahwa Keluarga adalah unit terkecil dalam sebuah Negara, meski unit terkecil akan tetapi fungsinya sangatlah besar, jangan berharap bisa membangun Negara jika tak bisa membangun pondasi keluarga dengan baik.
Penjelasan Dosen saya tersebut membuat saya berpikir jika pelajaran pertama seorang warga negara bukanlah di sekolah atau bangku perkuliahan, melainkan dari keluarga dimana nilai moral dan budi diajarkan untuk pertama kalinya. Maka betapa pentingnya sebuah keluarga, unsur kecil namun memiliki efek yang sangat besar bagi maju tidaknya sebuah bangsa.
Saat ini, bisa dikatakan Bangsa Indonesia sedang mengalami krisis mental. Segala macam permasalahan di bidang hukum, ekonomi, sosial, dan budaya disebabkan karena keroposnya mental dan kepribadian bangsa Indonesia.
Pemakluman yang Kebablasan
Rakyat Indonesia selama ini dininabobokan dengan beragam pembenaran dan pemakluman akan sebuah kesalahan hingga akhirnya menjadi kebablasan. Misalnya pengendara motor yang menyerobot trotoar dimaklumi karena keadaan jalanan yang macet, atau masyarakat yang membuang sampah sembarangan juga dimaklumi karena ketiadaan tempat sampah.
Pemakluman-pemakluman seperti itu akhirnya menjadi kebablasan hingga menular ke orang lain yang menganggap bahwa kesalahan-kesalahan tersebut adalah sesuatu yang wajar tanpa memikirkan nasib orang lain, para pengendara motor yang menyerobot trotoar tak pernah memikirkan betapa tak nyamannya para pejalan kaki, begitu juga dengan orang yang membuang sampah, tak pernah memikirkan akibat laten dari perilakunya tersebut bisa menyebabkan banjir. Pemakluman yang kebablasan dalam kebiasaan sehari-hari ini akhirnya menjadi sulit untuk diubah dan terus melekat.
Kita bisa lihat bagaimana para pejabat dan wakil rakyat yang akhirnya masuk bui karena korupsi. Dalam dunia perpolitikan, bagi-bagi proyek dan mencari tambahan pemasukan lewat mark up anggaran dijadikan sesuatu yang “wajar”, tujuannya tak lain adalah untuk keuntungan pribadi. Hal ini menjadikan korupsi sangat sulit diberantas di negeri ini, ditangkap satu koruptor, muncul seribu koruptor baru.
Kebablasan pemakluman yang menganggap segala hal yang salah dianggap sebagai sesuatu yang wajar inilah yang perlahan menggerogoti sendi-sendi bangsa Indonesia tanpa kita sadari. Mental-mental yang penuh keegoisan inilah yang harus segera direvolusi agar tak menjadikan Indonesia semakin terpuruk.
Selain mental penuh egoisitas, ada mental lain yang harus direvolusi, yaitu mental inlander yang menganggap bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu ada di bawah. Meski sudah 70 tahun merdeka, akan tetapi mental bawaan masa penjajahan ini masih terus tertanam, sungguh sebuah ironi.