No. Peserta : 438
Didit berjalan gontai sepulang sekolah, wajahnya yang biasanya ceria, siang ini terlihat muram. Didit masih memikirkan rencana teman-temannya di kelas tadi.
Tahun ini Didit naik ke kelas 6, dan tadi Joni, ketua kelas mengusulkan suatu rencana untuk belajar bersama keliling ke semua rumah teman-teman sekelas setiap hari minggu. Joni beralasan belajar bersama karena untuk persiapan ujian kelulusan nanti dan sebelum lulus sekolah, kita semua harus tahu rumah semua teman sekelas agar persahabatan tidak terputus setelah lulus sekolah nanti.
Akhirnya Didit sampai di depan rumahnya, sebuah gubug sederhana di tepi jalan dekat areal persawahan yang agak jauh dengan pemukiman lain. Didit merasa malu jika teman-temannya tahu ia yang sering meraih bintang kelas hanyalah anak seorang tukang tambal ban.
Bapak Didit memang seorang tukang tambal ban, dulu bapak Didit adalah buruh pabrik, tapi kemudian diPHK dan akhirnya beralih menjadi seorang tukang tambal ban.
Didit mengucapkan salam dan mencium tangan bapaknya yang masih menambal ban motor yang kempes. Didit kemudian masuk rumah dan meletakkan tasnya di atas tempat tidur, satu-satunya tempat tidur yang ada di rumahnya.
“Sudah pulang, Dit?” tanya emak.
“Iya, Mak,” Didit pun mencium tangan emak.
“Ganti baju sana, sholat, terus makan, Emak masak sayur bayam dan tempe goreng,” ucap emak sambil mengusap lembut kepala Didit.
Didit hanya mengangguk kecil dan kemudian melaksanakan apa yang dikatakan Emak. Setelah makan, Didit masih terlihat lesu, tapi ia tidak menceritakan hal ini pada Emak, ia tak ingin membuat Emak sedih karena Didit malu jika teman-temannya tahu bapaknya seorang tukang tambal ban.
***
Malam harinya seusai belajar, Didit bertanya pada emaknya yang sedang melipat baju-baju dari jemuran yang sudah kering,“Emak, sampai kapan Bapak akan bekerja jadi tukang tambal, ya?”
Mendengar pertanyaan Didit, emak pun tersenyum. “Kita harus bersyukur dengan semua rezeki yang sudah diberikan Tuhan pada kita. Meskipun Bapak hanya tukang tambal ban, yang penting halal,” ucap emak seraya tersenyum.
Didit terdiam, membenarkan ucapan emaknya, tapi ia juga takut kalau teman-temannya akan mengolok-oloknya, dan menjauhinya karena ia hanya anak seorang tukang tambal ban.
“Sudah selesai belajarnya, Dit?” tanya emak.
“Sudah, Mak,” jawab Didit seraya menutup buku pelajarannya.
“Kalau begitu bantu Bapakmu di depan rumah, sepertinya ada yang berhenti untuk menambalkan ban,” ujar emak.
Didit pun segera beranjak dan menyusul bapaknya di depan rumah. Didit memang terbiasa membantu bapaknya, meskipun tidak membantu menambal, tapi Dion seringkali membantu yang lebih ringan, mengambilkan obeng atau mencelupkan ban ke dalam air untuk mencari bagian yang bocor.
Namun, saat sampai di depan rumah, Didit kaget ketika melihat Fajri ada di depan rumahnya bersama papa dan mamanya. Ternyata ban mobil papa Fajri bocor dan harus ditambal.
“Lho, rumah kamu disini, Dit?” tanya Fajri.
Didit yang ditanya seperti itu hanya mengangguk ragu-ragu, ia malu karena Fajri tahu bapaknya hanya seorang tukang tambal ban.
“O, adik ini teman kamu, Fa?” tanya papa Fajri.
“Iya, Pa, ini Didit, dia selalu dapat rangking satu lho di kelas,” ujar Fajri.
Didit lalu mencium tangan papa dan mamanya Fajri, tak berapa lama ban mobil milik papa Fajri sudah selesai ditambal, papa, mama, dan Fajri pun permisi setelah sebelumnya membayar biaya tambal ban pada bapak Didit.
***
Pagi harinya, Didit merasa malas untuk berangkat ke sekolah, ia takut jika Fajri memberitahukan pekerjaan bapaknya pada teman-temannya.
Sesampainya di sekolah, Fajri memanggil Didit.
“Dit, ini dari Papaku untuk Bapakmu,” ujar Fajri seraya mengangsurkan sebuah bungkusan tas kertas pada Didit.
“Apa ini?” tanya Didit.
“Ini ucapan terimakasih dari Papa,” jawab Fajri
“Semalam kan sudah dibayar,” ucap Didit bingung.
“Iya, tapi ini ucapan terima kasih untuk bantuan Bapakmu semalam, kalau tidak ada tambal bannya Bapakmu, kami pasti akan terlambat di tempat acara teman bisnisnya Papaku,” jelas Fajri.
“Kata Papaku, Bapakmu itu hebat, karena pekerjaan Bapakmu adalah membantu orang-orang yang sedang mengalami kesusahan di jalan, membantu menambal ban motor dan mobil yang bocor,” ucap Fajri lagi.
Didit terharu mendengar ucapan Fajri, ia kini baru sadar jika Bapaknya adalah orang hebat dan sekarang ia tidak malu lagi mengatakan jika Bapaknya adalah seorang tukang tambal ban. Didit juga sudah tak sabar lagi menyambut teman-temannya untuk datang ke rumahnya untuk belajar bersama. “Bapak memang hebat,” ucap Didit dalam hati seraya tersenyum penuh kebanggaan.(*)
NB: Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: Inilah Hasil Karya Festival Fiksi Anak!
Silahkan Bergabung juga di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H