Ketika mendengar Kota Intan, pastilah yang terbersit dalam ingatan kita adalah Kota Martapura di Kalimantan Selatan yang menjadi pusat penyepuhan serta jual beli intan terbesar di Indonesia. Akan tetapi warga luar Martapura tak banyak yang tahu jika intan-intan tersebut berasal dari tanah intan yang sebenarnya terdapat di Banjarbaru.Bulan April lalu, saya berkesempatan datang ke Kota Banjarbaru dan melihat langsung pendulangan intan di Kampung Pumpung, Cempaka. Berikut ini adalah hasil catatan perjalanan saya selama di sana yang ditemani Nanang-Galuh (Duta Wisata) Kota Banjarbaru.Â
Banjarbaru merupakan wilayah yang sudah ada sejak puluhan tahun silam yang mana tata kotanya dirancang oleh seorang Belanda bernama Van Der Pijl. Dari hasil rancangan Van Der Pijl ini bisa dirasakan bagaimana Banjarbaru memiliki lebih banyak ruang terbuka hijau dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Kalimantan Selatan, dan untuk mengenang jasa-jasanya untuk Banjarbaru, di dekat pusat kota dibangunlah sebuah taman terbuka hijau dengan nama Van Der Pijl. Â
[caption id="attachment_332171" align="alignleft" width="640" caption="Taman Kota Banjarbaru - Taman Van Der Pijl"][/caption]
Banjarbaru yang mulai resmi menjadi sebuah kota sejak 15 tahun lalu ini memiliki keunikan karena ia dibangun di atas gunung bernama Gunung Apam, oleh karena itu tak heran jika jalanan di Banjarbaru dari pusat kota menuju daerah pinggiran terasa naik turun, bahkan puncak Gunung Apam ini masih bisa ditemui secara kasat mata karena saat ini puncak tersebut berada di tanjakan tertinggi dari Banjarbaru menuju Martapura.
Berada di Banjarbaru tak lengkap rasanya jika tak berkunjung ke Cempaka, tepatnya di Desa Pumpung, sebuah desa penghasil intan yang hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai pendulang intan. Desa ini juga merupakan satu-satunya tempat pendulangan intan di dunia yang masing menggunakan cara tradisional.Â
[caption id="attachment_332172" align="alignleft" width="336" caption="Ikon Patung Pendulang Intan di Taman Van Der Pijl"]
Berbeda dengan Banjarbaru yang penduduknya banyak berasal dari luar Kalimantan Selatan bahkan luar Pulau Kalimantan. Di Desa Pumpung ini penduduknya masih asli dan mereka bekerja menjadi pendulang intan secara turun-temurun sejak masa Hindia-Belanda.
Desa Pumpung yang berjarak 7 km dari pusat Kota Banjarbaru memiliki keterkaitan erat, bukan karena jaraknya yang tak seberapa jauh, akan tetapi asal muasal Kota Banjarbaru berasal dari banyaknya para pendulang intan di Cempaka yang beristirahat di Gunung Apam hingga akhirnya banyak pemukiman dan pendatang.Â
Dari Kota Banjarbaru untuk menuju ke Desa Pumpung, saya harus mengarah ke tenggara hingga memasuki Kecamatan Cempaka. Ketika memasuki jalanan kampung menuju ke pendulangan, saya disambut oleh sebuah monumen yang berdiri menjulang di kiri jalan dengan hiasan intan sebesar kepala kerbau di puncaknya.Â
Menurut Yosef dan Fika, Nanang-Galuh, duta wisata Banjarbaru yang menemani saya. Hiasan intan di puncak tugu tersebut adalah tanda penemuan sebuah intan besar dengan berat 166,75 karat pada tahun 1965 yang kemudian diberi nama Intan Trisakti oleh Presiden Soekarno.
Akan tetapi karut marutnya kondisi perekonomian masa itu, harga Intan Trisakti yang seharusnya berharga 10 Trilyun rupiah, jatuh menjadi 3,5 juta rupiah saja. Bahkan keberadaan Intan Trisakti pun tak diketahui rimbanya hingga kini.
Monumen Intan Trisakti kini tak lagi terurus, ini bisa terlihat dari semak belukar yang mengelilinya serta pudarnya cat yang melapisinya. Terlantarnya monumen tersebut bisa jadi sebagai bentuk protes para pendulang atas menghilangnya Intan Trisakti yang tak lagi diketahui keberadaannya hingga saat ini.
Saat melewati jalanan tak beraspal menuju tempat pendulangan, saya melihat banyak para pendulang yang sedang beristirahat sambil mawarung (makan di warung), menikmati wadai 41, atau kue yang terdiri dari 41 macam khas Banjar.Â
Galuh dari Borneo
Tak sampai 5 menit, saya sudah masuk kawasan pendulangan berupa tanah lapang yang sangat luas dengan banyak cerukan lebar bekas pendulangan di berbagai tempat. Tanah berwarna coklat kekuningan dengan tanaman ilalang di sekitarnya itu terasa tandus meskipun langit sedang mendung. Kami pun menemui beberapa pendulang intan yang sedang beristirahat di gubug sekitar tempat mendulang.
Salah satu pendulang tersebut pun mengajak kami ke sebuah cerukan yang di dalamnya sedang di lakukan pendulangan. Sebelum sampai ke cerukan tersebut, kami harus melewati beberapa cerukan yang sudah tak lagi digunakan. Di bagian lain terdapat bambu-bambu melintang bernama Kasbuk serta mesin genset yang menyedot air untuk membuat lubang baru.Â
[caption id="attachment_332174" align="alignleft" width="640" caption="Kasbuk, Mesin Tradisional Pendulangan Intan "]
Dari beberapa cerukan yang saya lewati, cerukan-cerukan tempat mendulang intan memiliki kedalaman yang bervariasi, dari satu meter hingga belasan meter. Cerukan-cerukan itu terlihat sepi, tak banyak yang mendulang intan karena hari masih begitu terik di siang hari, tempat pendulangan ini akan ramai ketika sore hari ketika hari sudah tak begitu terik. Pendulangan biasanya dilakukan secara berkelompok sehingga hasil dari pendulangan akan dibagi sejumlah orang yang berada dalam kelompok tersebut.
Tak berapa lama, kami pun sampai di sebuah cerukan dimana seorang pendulang sedang melinggang. Melinggang adalah aktivitas mencari intan menggunakan linggangan, sebuah alat berbentuk caping terbalik yang terbuat dari kayu ulin atau kayu jingga.Â
Pelinggang tersebut menenggelamkan tubuhnya hingga sebatas leher, mengambil pasir dan lumpur yang berada di dasar cerukan kemudian ia menggoyangkan linggangan untuk menemukan butiran-butiran intan.Â
[caption id="attachment_332176" align="alignleft" width="700" caption="Aktifitas Melinggang Secara Tradisional"]
Penasaran, saya pun mencoba untuk melinggang dari tepian cerukan, dan ternyata linggangan yang bentuknya begitu halus dan rapi karena memang dibuat khusus untuk melinggang itu lumayan berat. Karena melinggang ternyata tak semudah yang kami bayangkan, akhirnya kami lebih memilih untuk menunggu di tepian cerukan.Â
[caption id="attachment_332178" align="alignleft" width="600" caption="Belajar Melinggang"]
Menunggu sebuah intan ditemukan tidaklah sebentar, menurut pendulang yang mengantar kami, mendulang intan saat ini tak lagi seperti dulu. Jika dulu setiap hari bisa ditemukan intan 10 gram, akan tetapi saat ini harus sabar melinggang berminggu atau berbulan-bulan lebih dulu untuk mendapatkannya.Â
Untuk mampu menemukan intan pun harus jeli dan harus bisa membedakan mana intan, batu akik, atau batu biasa karena di tempat pendulangan intan ini memang tak hanya ada intan saja, tetapi juga aneka batuan lainnya seperti kecubung, delima, hingga safir.Â
 [caption id="attachment_332180" align="alignleft" width="640" caption="Intan dari Cempaka"]
Pendulang yang mengantar kami dengan senang hati menunjukkan aneka bebatuan serta intan dari dalam tas pinggangnya. Bebatuan berharga itu disimpannya di dalam lipatan kertas rokok, mata kami berbinar melihat keindahan intan-intan yang memancarkan aneka warna tersebut. Intan-intan ini biasanya akan dijual ke Martapura atau dijual kepada para kolektor batu mulia yang datang langsung ke tempat pendulangan.Â
Mendulang intan tak boleh dilakukan secara sembarangan, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi, seperti tak boleh meludah serta harus menyebut intan dengan sebutan ‘Galuh’ ketika sedang melinggang. Sebelum mendulang pun ada ritual khusus yang dilakukan untuk menemukan tempat yang tepat untuk melakukan pendulangan.Â
Ingin berwisata dengan melihat kekayaan alam Indonesia secara langsung? Tempat pendulangan intan tradisional Cempaka bisa menjadi pilihan. Dan jika beruntung, selain bisa melihat satu-satunya tempat pendulangan intan tradisional di dunia, anda juga bisa melihat intan murni yang muncul dari perut bumi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H