Mohon tunggu...
Richaer Gultom
Richaer Gultom Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Saya adalah seseorang yang selalu mempelajari kesalahannya dan mengubahnya menjadi keunikan. Saya suka nonton anime dan bermain vidio gim

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengatasi Lingkaran Kemiskinan dengan Pendidikan Inklusif

5 Januari 2025   11:36 Diperbarui: 5 Januari 2025   11:36 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi) Penerapan pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas (sumber: freepik.com) 

Pendidikan inklusif, yang memastikan akses pendidikan bagi semua anak tanpa diskriminasi, menjadi topik hangat di Indonesia. Hari Kamis, 05 Desember 2024 yang lalu, Wuri Handayani mengatakan bahwa hanya 2,8% dari 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia yang menyelesaikan pendidikan tinggi. Wuri Handayani adalah seorang dosen penyandang disabilitas di UGM Yogyakarta. 

Menurut beliau, rendahnya angka lulus penyandang disabilitas ke perguruan tinggi ini akan menyebabkan terjadinya lingkaran kemiskinan. Memang benar, pendidikan tinggi bukanlah jalan satu-satunya untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, tidak dipungkiri juga bahwa perguruan tinggi meningkatkan persentase kesempatan kita untuk mendapatkan pekerjaan. 

Karena itulah rendahnya akses pendidikan dan infrastruktur yang mendukung kegiatan pendidikan bagi disabilitas pastinya akan membatasi kesempatan mereka untuk bersekolah. Rendahnya kesempatan bersekolah pastinya akan membatasi keterampilan mereka. Keterampilan yang terbatas, ditambah keadaan mereka yang juga terbatas, tentu saja akan membuat mereka sulit bekerja ataupun diterima bekerja di suatu perusahaan. Inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan lingkaran kemiskinan di Indonesia.

Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan berbagai kebijakan mengenai pendidikan inklusif ini. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong pendidikan inklusif, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan. Penting untuk menyoroti urgensi penguatan pendidikan inklusif guna memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapatkan hak pendidikan yang setara. 

Kebijakan dan Realitas di Lapangan 

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan inklusif melalui berbagai regulasi. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Namun, data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa hingga tahun 2023 hanya sekitar 30% dari total sekolah di Indonesia yang menerapkan pendidikan inklusif. 

Data yang diperoleh dari berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar dalam penyediaan fasilitas pendukung belajar peserta didik, seperti ruang kelas untuk anak berkebutuhan khusus, alat pembelajaran yang memadai, dan aksesibilitas yang sesuai untuk seluruh siswa. 

Di sisi lain, ternyata terdapat kemajuan seperti bertambahnya jumlah sekolah yang melaksanakan pendidikan inklusif yang menunjukkan bahwa upaya menerapkan pendidikan inklusif sedang dilakukan dengan serius oleh beberapa sekolah. Namun, keberadaan sekolah-sekolah tersebut belum merata dan masih terkonsentrasi di kota-kota besar sehingga masih banyak anak-anak di daerah terpencil  yang belum mendapatkan manfaat dari pendidikan inklusif. Hal ini tentunya menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. 

Tantangan dalam Implementasi Pendidikan Inklusif 

Salah satu tantangan utama dalam penerapan pendidikan inklusif adalah kurangnya pemahaman dan kesadaran diri di kalangan pendidik dan masyarakat. Banyak sekali guru di Indonesia yang belum mendapatkan pelatihan yang memadai untuk mengajar peserta didik dengan kebutuhan khusus. Menurut survei yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2022, sekitar 60% guru di Indonesia merasa tidak siap mengajar di kelas inklusif. Selain itu, stigma buruk dan diskriminasi terhadap anak dengan kebutuhan khusus masih sering terjadi, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat luas. Hal ini tentunya menjadi "PR" besar bagi semua orang, baik pemerintah maupun masyarakat, dalam mewujudkan pendidikan inklusif itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun