Mohon tunggu...
Ricco Survival Yubaidi
Ricco Survival Yubaidi Mohon Tunggu... Notaris - Melangitkan Mimpi, Membumikan Hati

Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akademisi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penerapan Pasal 13 Undang-Undang No 4 Tahun 1996 dalam Pelaksanaan Hak Tanggungan Secara Elektronik

10 Mei 2020   09:00 Diperbarui: 10 Mei 2020   09:16 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia hingga kini terus mengoptimalkan peran negara dalam pemberian jaminan dan kepastian hukum bagi masyarakat di bidang pertanahan. Selain itu, dengan jaminan dan kepastian hukum di bidang pertanahan tentu memberi ketertarikan bagi investor dalam/luar negeri untuk terlibat dalam kemajuan roda pembangunan ekonomi di Indonesia. Salah satu ketertarikan investor dalam melakukan investasi salah satunya adalah adanya proses-proses perizinan yang cepat, ringkas, dan aman.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) merupakan peraturan lanjutan dari mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dalam melihat perlunya lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberikan kepastian hukum untuk meningkatkan pembangunan nasional yang bertitik berat pada ekonomi. 

UUHT menjadi salah satu aspek yang penting karena harus diakui bahwa lembaga penjamin hak dari masa ke masa cukup mampu menjadi satu tren positif dalam penciptaan lapangan kerja dan usaha.

Hak Tanggungan dalam UUHT didefinisikan sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Pelaksanaan Hak Tanggungan secara ringkas setidaknya melibatkan empat (4) peran yaitu Kreditur (pihak yang berpiutang), Debitur (pihak yang berutang), PPAT, dan Kantor Pertanahan. Pelaksanaan Hak Tanggungan sejak lahirnya UUHT hingga saat ini masih terus mengalami beberapa permasalahan seperti proses persiapan pendaftaran, proses pembebanan maupun hingga proses eksekusi atas pembebanan hak tanggungan

Bahkan adanya PPAT maupun pejabat Kantor Pertanahan yang harus menghadapi permasalahan dalam pertanggung jawaban hukum dalam jabatannya sehubungan pelaksanaan Hak Tanggungan.

Pada perjalanan UUHT telah beberapa kali muncul perkembangan dan diskusi akan kebutuhan pelaksanaan Hak Tanggungan secara elektronik (HT-el). Pelaksanaan secara elektronik dianggap mampu menjadi solusi atas penyelesaian terkait transparansi/keterbukaan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, keterjangkauan hingga yang dianggap awam bahwa adanya “makelar”  dalam lambatnya proses pelaksanaan Hak Tanggungan.

Wacana tersebut akhirnya direalisasikan dengan sejumlah aturan perundangan seperti lahirnya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik. 

Setelah perjalannya lebih kurang tahun-tahun terakhir ini ternyata ditemukan inkonsistensi antar peraturan perundangan terkait pelaksanaan layanan tersebut terutama bagi jabatan PPAT. 

PPAT sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik sejatinya harus mampu melahirkan akta-akta otentik yang memenuhi faktor-faktor materiil dan formil.

Penulis mendapati setidaknya ada beberapa permasalahan misalnya Pasal 13 UUHT yang menjelaskan bahwa selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanhaan. 

Hal ini tentu dilihat sebagai problema karena dengan adanya sistem HT-el tidak serta merta menjamin kepastian hukum atas meringkas tahapan-tahapan pelaksanaan Hak Tanggungan dari manual menuju elektronik.

Kurangnya sosialisasi kepada PPAT dan pihak Kreditur menyebabkan lambannya proses pembebanan HT-el justru terasa dibanding pembebanan secara manual dengan datang ke Kantor Pertanahan. 

Apalagi dengan telah ditandatanganinya Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Kreditur dan Debitur seharusnya PPAT segera mendaftarkan akta dalam 7 hari kerja. Namun karena proses verifikasi akun mitra, masih berjalannya sosialisasi, maupun aspek-aspek lain justru menyebabkan mundurnya pendaftaran APHT hanya karena masalah non substansial seperti sistemasi dan komputerisasi HT-el. 

Masalah-masalah kemudian yang dihadapi, bagaimana bila ada ternyata adanya blokir secara tiba-tiba terhadap tanah yang tidak segera dibebankan Hak Tanggungan. 

Hal ini bisa saja terjadi ketika PPAT telah melakukan pengecekan sertifikat atas tanah yang menyatakan bebas dari blokir dan sengketa namun ternyata di perjalanan dengan tidak segeranya dibebankan Hak Tanggungan.

Penulis masih memprediksi bahwa telah ada ataupun akan ada permasalahan-permasalahan lain yang dihadapi oleh PPAT selaku pejabat dan Kreditur selaku pihak yang berpiutang dalam pelaksanaan HT-el. 

Diharapkan adanya sistem HT-el guna meringkas dan mempercepat pelaksanaan Hak Tanggungan dapat segera meminimalisir adanya masalah-masalah non-substansial yang nantinya justru bisa saja menjadi permasalahan yang tidak terduga bagi PPAT dan Kreditur sebagai pihak mitra dari Badan Pertanahan Nasional. (Ricco Yubaidi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun