Mohon tunggu...
Ricardo Siahaan
Ricardo Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Telah menulis buku yang diterbitkan Elex Media Komputindo Jakarta dan Andi Offset Yogyakarta buku tentang desain arsitektur 2D dan 3D serta Animasi

Telah menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Undangan Pertunangan

7 November 2024   18:46 Diperbarui: 7 November 2024   18:54 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

UNDANGAN PERTUNANGAN

Awal tahun kelas 12, Dea menatap Laras dari bangkunya. Beberapa hari ini ia perhatikan Laras tiba-tiba saja bersikap menjauh darinya, dan itu terjadi setelah mereka berdua bertahun-tahun menjalin persahabatan. Setiap bunyi bel sekolah tanda mau pulang, Laras tiba-tiba saja menghilang. Perubahan yang sangat aneh menurut Dea, tak ada lagi canda dan tawa diantara mereka berdua pada setiap jam istirahat. 

Bahkan mereka berdua tak lagi sama-sama menuju pintu gerbang sekolah lalu berpisah dengan mobil jemputan masing-masing, seperti yang telah mereka berdua lakukan dalam dua tahun terakhir. Benak Dea semakin hari semakin banyak dipenuhi berbagai pertanyaan, yang dia sendiri tak dapat menjawabnya. Hanya berupa dugaan, Laras telah menyembunyikan sesuatu darinya. Hanya itu!

Dea sangat menyesalkan atas sikap Laras yang tak pernah bercerita tentang persoalan yang dihadapi. Laras hanya diam membisu, padahal biasanya Laras selalu curhat, tentang apa saja. Tapi kali ini tidak!  

Bunyi bel tiba-tiba memecah kesunyian dalam kelas. Dea mempercepat mengumpulkan buku-buku yang berserakan di atas meja sambil sekali-kali menatap Laras yang tampaknya juga seperti ingin terbang meninggalkan kelas.

Kali ini Dea tak mau diam, ia harus mengikuti Laras. Langkah kedua kakinya ia percepat, Dea ingin tahu kemana saja Laras setiap bel pulang sekolah. Mereka berbaur diantara anak-anak lain yang juga bertepatan keluar dari kelas. Namun dalam sekejap mata, Laras telah menghilang dari pengawasannya. Tak mau putus asa, Dea terus mencari laras dengan menebar tatapan ke segala arah. 

Kemudian berjalan kesana-kemari mengitari halaman sekali, meski sekali-kali ia hampir bertabrakan dengan anak-anak lain yang juga bertepatan sedang menatap kearahnya dengan tatapan penuh dengan tanda tanya. Mungkin mereka mau mengatakan agar berhenti mondar-mandir kesana-kemari.

 Tapi mereka hanya diam, tak ingin membuang-buang waktu untuk mencampuri urusan pribadi orang lain. Seperti sekarang yang sedang dilakukannya. Ingin tahu kemana saja Laras selama ini, hingga cepat-cepat menghilang dari kelas dan tidak menghiraukan dirinya lagi. Serta sudah melupakan arti persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak dari mulai SD.

Tiba-tiba tatapannya tertuju pada arah lorong di samping sekolah yang menuju kantin. Satu-satunya lorong yang dapat meloloskan Laras dari kejarannya tadi. Untuk apa dia ke kantin? Lagi pula kantin sudah tutup. Paling yang ada cuma si Mbok yang lagi beres-beresin barang dagangan.

Dea meneruskan langkah kakinya ke arah lorong menuju kantin, hati kecilnya mengatakan pasti Laras akan ditemukan di sana. Namun tiba-tiba ia berhenti. Aku harus berhenti melakukan ini, gumamnya kemudian berbalik. Apa yang akan ia katakan nanti pada Laras, kalau ia telah dengan sengaja mengikutinya? Akhirnya Dea mengurungkan niatnya mencari Laras.

Langkah yang paling tepat adalah secepatnya pergi dari situ. Kemudian Dea bergegas mengayunkan kaki menuju pintu gerbang. Kasihan Pak Sukirman supir pribadi papanya pasti sudah terlalu lama menunggu. Gumamnya sambil menatap jarum jam arloji ditangan. 

"Dea, tunggu!" Panggil seseorang. Terdengar sangat asing, tapi karena namanya yang dipanggil, Dea pun masih menyempatkan diri untuk berbalik.

Kira-kira pada jarak lima meter didapatinya sosok seusianya yang juga mengenakan seragam SMA yang tersenyum lebar dan memperlihatkan sikap seperti sudah sangat mengenal dirinya. Dea hanya terbengong sambil memperhatikan seragam yang dikenakannya, jelas ia bukan sekolah di sini. Kemudian diamatinya wajah dari cowok itu. Hmm lumayan cakep..., gumamnya dalam hati. Ada juga gunanya Laras cepat-cepat menghilang. Serta tidak membuang-buang waktu untuk mencarinya, sehingga ia masih sempat bertemu dengan cowok ini. Meskipun ini mungkin hanya kebetulan saja.

"Kamu lupa, ya?" Tanyanya mulai mendekat.

Dea menganggukkan kepala. What? Apa yang telah aku lakukan? Apa susahnya sih, menjawab dengan oya, sepertinya kita pernah ketemu... Atau maaf, sepertinya kita udah pernah kenalan, tapi aku lupa. Bla... bla... bla... Dea menyalahkan diri. Yang tak mau mengaku-ngaku sudah mengenal cowok itu.

Cakep sih, cakep..., tapi nggak harus nunjukin kan? Ntar dikira cewek gampangan lagi! Dea tetap pada pendiriannya.

"Sudah lama sih, kita pernah satu kelas saat di SD," jelasnya mencoba memberikan gambaran. Gluk..., kerongkongan Dea seperti tersedak meskipun saat itu tidak sedang meminum sesuatu. Pikirannya mulai menerawang kebelakang, tepatnya enam tahun yang lalu. Namun ia sama sekali tidak mendapat gambaran apa pun mengenai cowok yang dihadapannya itu. Sama sekali tak ada yang mirip dari sekian teman-teman kelasnya yang cowok. Mungkin karena sudah sangat lama, Dea betul-betul tak ingat apa-apa.

"Maaf..., aku betul-betul tidak ingat," ucap Dea akhirnya seperti menyesal

Cowok dihadapannya tampak tersenyum datar. Tak ada penyesalan disana, Dea sedikit kecewa. Dan mulai menyalahkan dirinya. Mengapa ia sama sekali tidak mengenal cowok dihadapannya itu?

"Rio...? Aku tunggu-tunggu di kantin, ternyata kamu ada disini." Dea berbalik saat mendengar suara yang tak asing ditelinganya. Ternyata Laras.

Dea tampak terperangah menatap Laras, kemudian berbalik ke arah cowok itu.

"Jadi kamu..., kamu Rio?" Tanya Dea tak percaya.

Rio mengangguk sambil tersenyum. 

Dea kembali menatap Laras, kali ini dengan sinar mata kecewa yang ditujukan pada sahabatnya itu. Laras tertunduk, tak mampu menerima sorot tajam yang menghujam sampai lubuk hatinya yang paling dalam.

Dea membuka mulut, namun tak satu kata pun ia ucapkan, kemudian berbalik dan membuka pintu mobil yang sejak tadi menunggu.

"Dea, tunggu...," ucap Laras sambil berusaha meraih lengan sahabatnya itu. Namun dengan cepat Dea menepis.

"Jalan Pak!" ucapnya kepada Pak Sukirman setelah duduk dan menutup pintu. Sementara Laras dan Rio hanya terpaku melihat Dea pergi begitu saja.

* * *

Awal tahun kelas 11, Dea dan Laras sedang duduk di kantin pada saat istirahat jam pelajaran. Suasana kantin belum terlalu ramai, hanya dikunjungi empat sampai enam orang saja. Tiba-tiba Dea merogoh saku roknya dan mengeluarkan sesuatu.

"Nih, aku pinjamin flashdisk," ucap Dea sambil menyeruput minumannya

"Isinya apa, sih?" Tanya Laras.

"Foto-foto kita waktu di SD yang sudah aku scan," jawab Dea.

"Aku jadi ingat Rio." Laras tersedak mendengar ucapan Dea, minuman yang diteguknya muncrat kemana-mana.

"Laras..., pelan-pelan minumnya," ucap Dea sambil mengambil tissue dihadapannya dan melap wajahnya yang terkena.

Laras mengalihkan tatapan kearah lain. Seperti menyembunyikan sesuatu.

"Kamu kok bengong? Ada apa sih?" Tanya Dea, membuat Laras gelagapan.

"Nggak, nggak ada apa-apa kok," sahutnya sambil menunduk.

"Seandainya Rio kembali ke kota ini," ucap Dea penuh harap.

"Kamu serius, pengen ketemu dengan Rio?" Tanya Laras seperti ingin memastikan.

Dea tersenyum. Laras tidak tahu apa makna dari senyuman sahabatnya itu. Namun tak dapat ia pungkiri, ada sesuatu yang melintas pada sepasang bola mata Dea.

"Apa kamu sudah pernah ketemu dengan Rio?" Dea balik bertanya.

Laras kembali gelagapan, dan kali ini ia seperti terpojok. Apa dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Laras?

"Laras..., setahu aku kamu itu nggak punya bakat untuk berbohong," Dea seperti sudah dapat menebak jalan pikiran Laras.

" Bisa aja kamu..., Rio kan di Bandung. Mana mungkin aku ketemu dengannya," Laras berusaha menyakinkan Dea.

Dea terdiam, tatapannya masih tertuju pada sepasang mata Laras yang berusaha menghindar.

"Please, Dea... Aku belum pernah ketemu sama Rio, sure... aku nggak bohong," ucap Laras mencoba menyakin.

Kalau Laras tidak pernah bertemu dengan Rio, mengapa sahabatnya itu dari tadi tampak gugup? Dea seperti menebak-nebak sambil menatap Laras yang sedang berusaha menyembungikan wajahnya.

Laras tetap menunduk, menghindari tatapan Dea. Rasanya ia mulai luluh, tak tahan untuk tidak berterus terang. Aku harus mengatakannya, gumam Laras dalam hati, lalu mengangkat wajah. Tapi..., Laras sangat terkejut, Dea sudah menghilang dari hadapannya. 

* * *

Dalam perjalanan menuju rumah, Dea mulai menyalahkan Laras. Perih dihati Dea masih sangat terasa sampai saat ini. Sahabatnya itu telah menyakitinya dengan mempertontonkan kedekatannya dengan Rio.

Sampai di rumah Dea membuka laptop, kemudian mengklik folder foto SD. Satu persatu foto bersama teman-temannya saat di SD ia tampilkan pada layar. Diantara belasan wajah dari anak laki-laki dalam foto itu, tatapannya hanya tertuju pada Rio. Wajah dalam foto sangat jauh berbeda dengan yang sekarang, wajar kalau tadi ia tidak mengenal Rio. Gumamnya dalam hati. Dea menarik napas panjang, namun bukan merasakan kelegahan, melainkan sesak yang memenuhi rongga dada. Sudah sejak satu tahun lalu ia menginginkan untuk bertemu dengan Rio, dan keinginannya itu tiba-tiba saja terkabul. Namun ia merasa pertemuannya dengan Rio tadi di sekolah bukanlah seperti yang ia harapkan.

Rio kembali ke kota ini dan melanjutkan sekolah, sama sekali ia tidak tahun sejak kapan dan sudah berapa lama. Kenapa Laras tidak pernah memberitahukan kepadanya? Hubungan seperti apa sebenarnya yang terjalin antara Laras dan Rio?    

* * *

Liburan kenaikan kelas 11, Laras dan empat orang sepupunya yang di Bandung mengajaknya keliling kota sambil berbelanja. Maklum, Laras datang dari kota kecil jadi beberapa sepupunya yang sudah selesai menyelesaikan kuliah dan bahkan sudah bekerja dengan penghasilan yang cukup lumayan, mengajaknya ke pusat-pusat dunia mode serta masing-masing sepupunya telah dengan rela mengeluarkan uang untuk membelinya pakaian-pakain model terbaru serta harga yang menurut Laras sangatlah mahal.

Setelah seharian Laras dan keempat sepupunya menghabiskan waktu untuk berbelanja, akhirnya mereka baru merasakan kelelahan dan juga rasa lapar. Kemudian masuk ke restoran siap saji, mungkin itu yang harus mereka lakukan. Rasa lapar dan haus sudah tak tertahankan.

Sementara Nesia, salah satu sepupunya memesan makanan. Laras dan tiga orang sepupunya duduk menunggu di meja.

Pengunjung cukup ramai, hingga membuat Nesia harus berdiri pada barisan antrian. Jumlah yang antri lumayan, kira-kira lima sampai enam orang. Laras dan ketiga sepupunya tampak sabar menunggu.

Hampir dua puluh menit, Nesia baru mendapat pelayanan dari kasir. Laras dan ketiga sepupunya tampak menunjukkan wajah yang legah. Rasa lapar sudah tak tertahankan lagi, gumam mereka dalam hati masing-masing. Tiba-tiba Nesia melambai, dengan sigap Laras bergerak cepat menuju kasir untuk membantu sepupunya itu membawa pesanan mereka.

Buk! Laras tanpa sengaja telah menabrak seseorang.

"Laras...? Bisiknya tak percaya.

"Kamu..., kamu pasti Rio?" Laras balik bertanya.

Cowok itu tersenyum lebar. Keempat sepupu Laras saling berpandangan satu sama lain. Kemudian tampak Laras menarik lengan Rio dan mengajaknya mendekat ke meja sepupunya.

"Kenalin, ini Rio teman aku dulu di SD, akhir semester satu kelas enam ia dan keluarga pindah ke kota ini. Dan sekarang baru kami bisa saling bertemu," ucap Laras panjang lebar.

Ketiga sepupunya tampak terkesima. Laras dan Rio jadi salah tingka.

"Udah lama banget kan, terus waktu itu kalian masih kecil. Tapi Laras masih ingat kejadian itu?" Sofie akhitnya membuka suara. Pipi merona tampak terlihat di wajah Laras.

"Ayo, silahkan duduk," ucap Brenda sambil berdiri. Dan Ayu dengan sigap menarik salah satu kursi pada meja kosong disamping mereka, kemudian menyodorkannya pada Rio.

* * *

Dea mengayunkan kedua kakinya menuju ruang kelas, ia sudah siap bertemu dengan Laras. Kecurigaannya terhadap Laras sudah terlalu jauh, sampai menduga yang bukan-bukan. Mungkin hubungan Laras dan Rio hanya sebatas teman, meskipun sahabatnya itu sudah merahasiakan.

Tak sepantasnya ia terlalu menyalahkan Laras. Kalau pun mereka sudah menjalin hubungan lebih dari sekedar teman biasa, maka itu terjalin bukan karena hanya keinginan Rio saja atau Laras saja. Tapi..., apakah ia sudah siap mendengar pengakuan Laras? Ah..., Dea cepat-cepat menepis pemikiran yang tak diinginkannya itu.

Ruang kelas masih tampak sepi! Dea duduk dibangkunya sambil mengeluarkan salah satu buku pelajaran dari dalam tas.

"Pagi Non, Dea..." Dea mengangkat wajah. Penjaga sekolah telah berdiri dihadapannya.

"Ada apa, Pak?" Tanya Dea sedikit heran. Tidak biasanya pak Sunarman menemuinya sepagi ini.

"Kemarin ada yang titip ini, Non. Namanya Rio," sahut pak Sunarman sambil menyodorkan amplop berwarna pink, lalu pergi.

Tak percaya, Dea terkesima saat membaca tulisan undangan pertunangan pada bagian luar amplop disertai gambar hati yang dikeliling tulisan nama Rio dan Laras menggunakan warna tinta emas. Matanya terasa hangat dan berair.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun