Mohon tunggu...
Ricardo Nanuru
Ricardo Nanuru Mohon Tunggu... pegawai negeri -

simple man..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sopran Satu (u/ Mamaku Tersayang)

2 September 2012   15:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2 Agustus 2012, saat makan malam. Suara itu melengking, mungkin sopran satu, nyaring, berisik, membuatku gusar, marah, dan akhirnya menghardik: hussssss... diammmm... Itu suara seekor Burung Hitam, bermata merah, menyala bak api di kegelapan malam. Si Dia langsung diam, berbalik dan pergi. Maka tenanglah makan malamku bersama istri tercinta. 3 Agustus 2012, jam 12. Siang itu, motor Beat keluarga kami diantar dari dealer ke rumah. Senang sekali rasanya punya motor baru (walau dikredit). Syukurlah bisa ngantar anak sekolah tiap hari, bisa ngantar istri ke pasar (hanya dalam hati). Setelah berdoa, mengucap syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa, kemudian muter-muter kampus. Capek, istirahat, lanjut kerja rutin kantoran. 3 Agustus 2012, jam 15. Sore itu mulai kelabu, angin serasa lebih dingin dari biasanya. Awan seakan lebih kelabu, langit seakan mulai runtuh, tembok-tembok kantor itu seakan mulai sempit.  Sore itu, telepon genggamku yang butut ini berdering. "Papa memanggil" Di seberang sana, Bunyi suara terisak yang memanggil-manggil namaku: "Ricardo... Ricardo... Mari pulang lia Mama dolo... capat juaaaaa... Ricardo... Ricardo... mari pulang lia Mama dolo..." "Papa, ada apa? jangan buat panik... klik... pembicaraan itu terputus... Panik... Panik... Panik... Cari nomor HP lain... ternyata mereka di rumah belum dikabari.. Telepon di HP punya Mama... diangkat orang: "maaf bu, beta yang bawah Mama ke Rumah Sakit, tapi Beliau sudah meninggal." Bruuuuk... HP itu terjatuh.. Rasanya seakan dunia ini runtuh. Maka meledaklah isak tangisku; isak tangis seorang lelaki dewasa berusia 33 tahun lebih sedikit. Sedih tak terkira.. Baru pernah rasa ini melandaku. Beda dengan segala macam rasa sedih yang pernah ada dan singgah di hati ini. Pilu, nyeri, seakan ada yang hilang di hati dan jantungku. Malam itu juga, kami (disertai istri dan anakku) mengadakan perjalanan panjang: Tobelo --> Ternate --> Makassar --> Ambon. Besoknya, tiba dan ternyata.. memang Beliau.., Mamaku tersayang telah terbujur kaku di dipan itu. Di kamarnya yang sering kulihat Ia berbaring, istirahat, rehat sebentar dari segala penatnya ketika pulang mengajar, atau ketika capek mengurus kami, anak-anaknya, termasuk saya yang bandel ini. Kesedihan itu belum terlalu nyata kala itu, hanya isak kecil, takut membuat Papa yang keliatan lebih kurus dari biasanya itu sedih lagi. Berusaha kuat, tabah. Tetapi... tangisan itu akhirnya pecah juga ketika Peti itu mau ditutup, Mamaku tersayang kini kau telah pergi, takkan kembali, selamanya, bersama Tuhan. Rasa itu bersemayam di hatiku sampai sekarang. Rasanya hambar, membuatku merasa lebih dewasa dari biasanya. apakah ini? saya tak paham soal rasa ini? 16 Agustus 2012, pulang, kembali meninggalkan Kampung Halaman, menuju negeri impian, di antar oleh tatapan saudara dan tentu saja Papa yang juga sangat kucintai. Air mata berlinang, rasa itu tetap meliputi. Tak mampu diusir dengan apapun, termasuk harta yang melimpah sekalipun. Malam ini, 2 September 2012. Suara itu terdengar lagi. Suara sopran satu, melengking, nyaring. Bukan lagi ketika makan malam, tetapi saat  mau tidur, tepat di jendela kamarku, kamar kami. Bertanya: "apakah artinya? Apakah ini semacam tanda, sign, yang datang padaku?" Mungkin saja.. Mungkin suara sopran satu itu mau mengingatkanku. Besok, atau beberapa menit lagi, genap sebulan Mamaku tersayang berpulang. Ternyata suara sopran satu yang melengking itu datang untuk memberitahukan bahwa saya belum melakukan apapun untukNya sebelum berpulang. Mungkin saja ada, tetapi bagiku BELUM.. Tulisan ini pun hadir, setelah diingatkan oleh lengkingan si Sopran satu itu... Mamaku tersayang.. Beta rindu... Kapan katong berjumpa lagi Mama...? Semoga Kau tetap hangat dalam pelukan Bapa di Surga.. Jangan lupa siapkan tempat untuk kami yang masih bersusah-susah di dunia ini.. Sopran satu itu masih melengking di atas jendelaku ini Mama.. Dia tak akan kuusir demi Engkau, Mama.. Biarlah dia tetap bernyanyi, dengan lengkingan sopran satunya.. Biarlah dia terus mengingatkan bahwa beta pernah punya Mama yang sangat mencintai dan dicintai anak-anaknya. Tuhan, jagalah Mamaku tersayang... Amin. Tobelo, 2-3 September 2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun