Mohon tunggu...
Riby Oktadwiputri
Riby Oktadwiputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Indonesia - Universitas Andalas

Mahasiswa Sastra Indonesia- Universitas Andalas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kedudukan Perempuan sebagai Garis Keturunan Matrilineal di Minangkabau

22 April 2024   21:20 Diperbarui: 22 April 2024   22:39 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:
Riby Oktadwiputri
(Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)

Minangkabau merupakan suatu daerah yang terletak di Provinsi Sumatera Barat. Minangkabau atau juga biasa disebut minang adalah merupakan sebuah suku atau etnis yang berada di Sumatera Barat. Tidak semua yang tinggal di Sumatera Barat merupakan orang Minang, akan tetapi jika ia memiliki suku asli Minangkabau berarti ia merupakan orang Minang atau orang juga biasa menyebutnya dengan ‘urang awak’. Minangkabau terkenal dengan berbagai macam tradisi budayanya yang sangat khas.
Salah satu keunikan yang ada di Minangkabau yaitu garis keturunan matrilineal. Matrilineal merupakan sebuah istilah yang bermakna bahwa sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan dari pihak perempuan (ibu). Baik laki-laki ataupun perempuan, mereka akan menyandang suku yang dianut oleh ibunya. Hal ini telah berlangsung sejak zaman nenek moyang orang Minangkabau terdahulu.
Dalam suku Minangkabau, posisi perempuan sangatlah penting. Kedudukan perempuan di Minangkabau dianggap sebagai bundo kanduang, yaitu seseorang yang dipercayai untuk mengatur segala yang ada dalam suatu kaum. 

Ia berperan dalam prinsip garis keturunan suku dan kaum dengan kekuasaan mewarisi keseluruhan harta pusaka yang ada dalam suatu kaum. Meskipun perempuan di Minangkabau merupakan pemegang hak pusaka atas harta dalam suatu kaum, akan tetapi pemilikannya dalam adat adalah pemilikan bersama (komunal), maka status perempuan terhadap harta pusaka bersifat pemilikan tidak sempurna, di mana mereka hanya memiliki hak untuk memanfaatkan dan mengelola harta pusaka saja. Tidak untuk menggunakan secara semena-mena harta tersebut apalagi menggunakannya sebagai harta pribadi, hal itu sangat bertentangan dengan adat.

Sejarah Minangkabau menyebutkan bahwa maksud dari prinsip garis keturunan menurut pihak ibu (Matrilineal) yaitu satu payung, satu nenek, satu perut, nenek moyang dahulu membuka tanah dengan cara: “mencancang melateh, membuka kampung dan halaman” dengan semakin banyaknya keturunan, nagari pun diperluas (bakalebaran). 

Di Minangkabau terdapat istilah suku yang tidak boleh dipisahkan dengan sako(gelar kesukuan). Untuk menjamin kehidupan anak sepersukuan, mereka menetapkan adanya pusako (harta pusaka) dengan prinsip pemilikan komunal. Yang berperan dalam mengatur dan mengelola itu adalah bundo kanduang, yaitu wanita yang dituakan dalam adat.
Perempuan di Minangkabau dipandang sebagai sosok Bundo Kanduang dinyatakan sebagai rajo usali (raja asli) Minangkabau. Dang Tuanku, anak Bundo Kanduang raja alam Minangkabau telah menjadikan Bundo Kanduang sebagai sumber pengetahuan, hikmah, dan adat istiadat dalam mengurus kehidupan sehari-hari. Bundo Kanduang dipercayai sebagai rajo usali yang hadir bersama lahirnya penciptaan alam Minangkabau (Azyumardi Azra, 2003: 1). 

Mereka merupakan sumber dan juga tempat bertanya, yang berperan dalam jalannya sebuah alek gadang (pesta adat). Kedudukan perempuan begitu kuat sebagai sistem matrilineal. Sebutan Bundo Kanduang bermakna bahwa seorang ibu yang pandai, mengayomi, sebagai penunjuk arah, pengatur dan mempunyai jiwa pemimpin. Sifat ini diajarkan turun temurun supaya keturunannya bisa menghormati dan menghargai ibunya (perempuan), agar pandai dalam bersikap dan tidak meremehkan perempuan.
 
Sumber : Hanifuddin, I. (2011). Posisi Perempuan Minangkabau dalam Sistem Ulayat Menurut Adat Matrilineal dan Syarak. Faculty of Shariah of State Institute for Islamic Studies Batusangkar, Indonesia, 10 No 2, 94–111. https://doi.org/10.1234/juris.v10i2.927

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun