Kota Yogyakarta yang sudah berusia 258 tahun penting terus melakukan refleksi dan otokritik demi keberlanjutan pembangunan. Secara filosofis makna Ngayogyakarto adalah hakekat, gegayuhan atau tujuan hidup untuk menciptakan kebahagiaan dunia akhirat serta negeri yang adil dan amanah (Wibihandika, 2012). Makna tersebut didukung oleh potensi Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya, kota wisata, dan lainnya. Sayangnya seiring dengan perkembangan zaman terjadi beberapa fenomena yang mencoreng keistimewaan Yogyakarta.
Ancaman pergeseran budaya paling rentan menimpa anak muda. Akhir-akhir ini muncul fenomena yang meresahkan warga Yogyakarta yaitu dengan menjamurnya fenomena klithih. Tidak ada data yang pasti kapan fenomena ini mulai menggejala. Beberapa sumber mengungkapkan bahwa istilah klithih mulai ramai diperbincangkan sejak tahun 2010.
Nglithih atau klithih berasal dari bahasa Jawa yang berarti lebih kurang mencari kesibukan di saat senggang. Aksi nglithih di lapangan dalam konteks kenakalan remaja banyak dijumpai dengan gaya berkeliling kota menggunakan kendaraan yang dilakukan sekelompok oknum kelompok pelajar.
Kasus-kasus yang terjadi sebagai dampak aksi klithih ini sebagian besar adalah kekerasan fisik dan vandalisme. Kekerasan fisik bahkan banyak yang ditujukan untuk korban yang tidak dikenal. Konon ini dilakukan untuk menunjukkan eksistensi geng. Korban umumnya remaja dengan aneka modus seperti pemukulan, pengeroyokan, pembacokan, atau pelemparan molotov ke sekolah atau lokasi sasaran. Polda DIY (2014) secara tegas menyatakan bahwa aksi kekerasan tersebut merupakan kriminalitas yang akan ditindak keras.
Tanggap Darurat Vandalisme
Sasaran aksi klithih yang marak dijumpai di berbagai sudut Yogyakarta adalah vandalisme. Hampir semua fasilitas umum tidak luput dari aksi tidak bertanggung jawab ini. Vandalisme biasanya ditunjukkan dengan coretan identitas atau motto geng hingga pada tulisan-tulisan yang melanggar etika serta estetika.
Vandalisme apapun bentuknya merupakan kekerasan visual yang akan mengganggu kenyamanan penikmat Kota Yogya. Hal yang penting disadari semua pihak bahwa pelaku yang remaja secara psikologis dikenal memiliki energi lebih lantaran masuk dalam tahap pencarian jati diri. Beberapa langkah tanggap daurat penting dilakukan multi pihak secara tepat dan tidak menimbulkan kontra produktif.
Pertama, pemerintah dan pihak lain penting memberikan fasilitas untuk menyalurkan energi remaja secara positif. Kaitannya dengan vandalisme, misalnya dapat dialihkan ke aksi mural yang bermoral. Fasilitas dapat berupa pendanaan, even, hingga ruang untuk menyalurkan ide. Mural yang disuguhkan pun tanpa bermaksud mengekang kreassi juga penting digiring untuk menekankan aspek keistimewaan budaya. Mural di jembatan layang Janti dapat menjadi contoh dengan sajian gambar-gambar prajurit Kraton Yogyakarta.
Kedua, sekolah penting melakukan pendidikan dan penyaluran aktifitas pelajar. Misalnya banyak memberikan ekstrakurikuler, pendidikan seni budaya, dan lainnya. Even-even bersama dengan sekolah lain juga penting dipupuk demi mengurangi iklim konfrontasi.
Ketiga, orangtua memiliki peranan utama melalui pendidikan keluarga. Pengawasan dan bimbingan orangtua penting artinya bagi remaja. Berbagai pendekatan dapat diupayakan seperti spiritualisme, ekonomi, reward-punishment, dan lainnya.
Keempat, masyarakat umum dapat memfasilitasi dan memberikan ruang kepercayaan kepada anak muda. Misalnya melalui organisasi pemuda di kampung, kegiatan sosial kemasyarakatan, dan lainnya untuk menyalurkan idealisme dan energi.
Kelima, legislatif penting menyusun regulasi seputar vandalisme. Regulasi selain mengatur jenis larangan dan sanksi juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam upaya penanggulangannya. Penegakan hukum dari aparat juga penting dilakukan.
Anak muda merupakan harapan masa depan Yogya. Regenerasi yang optimal penting dilakukan demi menjamin keberlanjutan pembangunan dan keistimewaan. Otokritik ini layak dijadikan upaya tanggap darurat demi memutus rantai negatif fenomena klithih dan dampak vandalisme.(*)
(Dimuat dalam Kolom Opini TRIBUN JOGJA Edisi 17 Oktober 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H