Mohon tunggu...
Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyanto Mohon Tunggu... Konsultan - Pecinta Lingkungan dan Keadilan

Pecinta Lingkungan dan Keadilan I @ributlupy I www.lupy-indonesia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Ketika Sate Klathak Menggusur Gudeg Jogja

17 Oktober 2014   12:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:41 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Sudah sejak tahun 2000 kaki penulis menginjak pertama kali bumi Jogja. Namun nyatanya baru enam tahun kemudian mengenal dan berkesempatan menyicipi kuliner bernama Sate Klathak. Bahkan pengenalan pertama kali dengan istilah Sate Klathak justru melalui TV di acara kuliner fenomenal yang dipandu Pak Bondan “Maknyus”. Pertama kali lidah ini bersentuhan dengan Sate Klathak adalah beberapa saat setelah terjadinya gempa bumi tahun 2006.

Kala itu saya bersama beberapa teman sedang ada acara diskusi dengan warga di sebuah desa di Bantul. Selesai acara sekitar pukul 23.00 WIB, seorang teman dengan meyakinkan usul ke rombongan untuk mampir makan malam ke Pasar Wonokromo Pleret dan menawarkan makan Sate Klathak. Suasana tengah malam memasuki pasar yang tampak sepi dan sedikit kumuh awalnya terkesan kurang meyakinkan.Namun begitu masuk ternyata terdapat warung yang cukup ramai pembeli.

Saya dan semua teman sepakat minum teh poci panas. Sajian teh poci dengan gula batu sebagai pembuka cukup memuaskan dan lumayan mengurangi rasa kantuk. Selain itu dikarenakan saya sudah mengenal danmenikmati minuma ini sebelumnya. Tiba saatnya disajikan menu Sate Klathak beragam rasa berkecamuk. Awalnya meremehkan kenapa cuma 2 tusuk setiap porsinya, ngirit benar?. Selanjutnya muncul rasa aneh dan lucu melihat tusuk yang digunakan menggunakan jeruji besi. Fenomena ini jujur baru perdana kusaksikan. Rasa bingung kembali membuncah menyaksikan warna sate yang putih seperti belum matang. Nah, seperti dugaan begitu menggigit sate yang ada hanya rasa asin dan sedikit gurih. Singkat cerita kenalan pertama dengan Sate Klathak hasilnya tidak membuat jatuh hati.

Beberapa waktu setelah itu, saya kembali diajak beberapa teman pergi kuliner Sate Klathak. Teman itu dengan semangat menceritakan betapa unik dan enaknya Sate Klathak. Dia tidak tahu rupanya bahwa saya sudah mencicipi dan kurang menyukainya. Akan tetapi untuk menghormati, karena dia yang akan menraktir hehe.... saya diam saja dan bersedia mengikuti ajakannya. Saya dan rombongan sekitar jam 20 WIB mesti menembus dinginnya malam ke lokasi yang berjarak sekitar 30 Km dalam waktu hampir satu jam. Sesampai di lokasi ternyata daerahnya sama dengan pertama kali saya mencicipi yaitu daerah Kampung Jejeran, hanya kali ini berada di warung berbeda.

Jujur ketika itu awalnya kurang semangat menikmati kuliner. Tangan ini juga agak lesu ketika mengambil tusuk sate pertama kali. Anehnya, lidah ini seakan terasa cocok dengan Sate Klathak ini. Ditambah lagi cerita teman-teman yang juga puas telah menyugesti diri saya. Sejak saat itu, saya maksimal sebulan sekali ke warung Sate Klathak dengan beberapa teman dengan waktu malam hari.

Seiring dengan berjalannyawaktu, kuliner Sate Klathak semakin populer. Apalagi dengan semakin merajainya media sosial di negeri ini. Hampir setiap kenalan atau teman dari luar kota bercerita tentang rasa penasarannya dengan Sate Klathak. Beberapa kali saya berkesempatan memenuhi ajakan teman yang berkunjung ke jogja untuk kesana. Beberapa kali terpaksa batal karena memang jaraknya yang jauh mesti meluangkan waktu banyak.

Dahulu orang luar pastisetiap melihat dan mendengar Jogja lekat dengan kuliner gudeg. Kini gudeg tetaplak eksis, namun kehadiran Sate Klathak cukup mampu merebut hati pengunjung Jogja. Saya amati penikmat sate klathak ini bervariasi dan lengkap dari segi umur, gender, profesi, asal, dan lainnya. Kampung Jejeran di Jalan Imogiri berubahramai menjadi sentra kuliner Sate Klathak. Uniknya Sate Klathak ini hanya bisa bertahan dan berkembang disana. Satu dua warung mencoba berdiri di Kota Jogja namun nampaknya tidak bisa berkembang baik.

“Ke Jogja, jangan lupa Nglathak ya...” begitu kalimat yang acap kita dengar sekarang ini. Gudeg boleh dibilang telah tergusur atau minimal tersaingi karena kehadiran Sate Klathak. Tetapi jangan khawatir sifatnya hanyalah melengkapi. Sate Klathak cocok untuk kuliner langsung, sedangkan gudeg agak bergeser menjadi oleh-oleh. Entah sampai kapan fenomena ini akan berlangsung. Faktanya setelah hampir 8 tahun booming, kini kuliner Sate Klathak tetap eksis dan terus berkembang. Buktinya, beberapa warung bermunculan dan ramai pengunjungnya. Konon, mulai ada di daerah lain yang mencoba peruntungan membuka kuliner Sate Klathak, tetapi hasilnya belum bisa dinilai. Apapun itu, Sate Klathak sukses menjelma jadi ikon kuliner baru Jogja dan semakin melengkai keistimewaan kuliner Jogja. Silakan bagi yang belum mencicipi untuk mencobanya. Bagi yang sudah, apapun komentarnya terima kasih sudah ikut menggerakkan ekonomi rakyat Jogja. Saya menyaksikan beberapa kali even-even di Jakarta bahkan rela memboyong penjual Sate Klathak komplit dengan tim dan peralatannya menjajakan kuliner khusus ini. Jogja kselain terkenal sebagai Kota Gudeg, kini bertambah sebutannya dengan Kota Klathak.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun