Presiden Jokowi resmi melantik menteri untuk mengisi struktur Kabinet Kerja. Terjadi perubahan postur dan nomenklatur kabinet. Kendati demikian, perubahan tidak terjadi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jokowi mempercayakan pos menteri di Kementerian ESDM kepada Sudirman Said yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama PT. Pindad. Sudirman Said memikul beban berat dalam mengelola sektor ESDM khususnya dalam memberantas korupsi dan mafia di sektor energi.
Belum lepas dari ingatan, preseden buruk terjadi pada Kementerian ESDM sebelumnya ketika Jero Wacik (JW) yang dipilih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka. Dugaan uang yang dikorupsi JW mencapai Rp 9,9 miliar. KPK menjerat JW dengan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHPidana.
Sengkarut korupsi di sektor energi diyakini terjadi karenanya bergentayangannya mafia. Banyak modus terungkap terkait korupsi sektor energi. KPK menjelaskan JW diduga berupaya mendapatkan dana operasional menteri yang lebih besar dari yang dianggarkan. KPK menduga JW meminta anak buahnya untuk melakukan beberapa hal agar dana operasional menteri bisa lebih besar. Misalnya dengan peningkatan atau pendapatan yang bersumber pada kick back, satu pengadaan, atau pengumpulan rekanan dana-dana program tertentu. Modus lainnya ialah dengan menggelar rapat-rapat yang sebagian besar fiktif.
Potensi korupsi di sektor energi dan pertambangan yang dikelola Kemeterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sangatlah besar. Hal ini dikarenakan perputaran dana dengan nilai triliunan rupiah dari industri hulu hingga hilirnya. Selain itu menurut Ilyas (2014) penyelewengan juga besar melalui penyalahgunaan wewenang. Menteri ESDM sebagai eksekutif tertinggi di bidang energi dan pertambangan memiliki wewenang dan otoritas besar untuk membatalkan dan memutarbalikkan telaah atau rekomendasi jajaran yang berada di bawahnya. Otoritas yang sangat tinggi ini menimbulkan potensi dan kemungkinan penyalahgunaan sangat besar.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa Kementerian ESDM mendapatkan penilaian buruk dalam hal transparansi, ketersediaan informasi, dan akuntabilitas publik terkait dengan penerimaan negara. Kementerian ESDM sebagai kementerian yang memiliki pendapatan terbesar kedua setelah Kementerian Keuangan dianggap tidak terbuka kepada publik yang ingin mengakses secara detail sumber keuangannya.
Potensi korupsi sektor energi di hulu hingga hilir serta transfer pricing di sektor pertambangan mineral mendapatkan peluang lantaran masih lemahnya sentuhan penegak hukum. Gayung bersambut dengan ikut bermainnya kepentingan politik dalam kolusi dan korupsi yang terjadi di sektor energi (Munandar, 2013). Hal ini wajar dan menjadi rahasia umum mengingat sektor energi merupakan lahan basah yang bisa menghasilkan pundi-pundi besar dan bisa dimainkan oleh oknum-oknum politisi.
Pemberantasan Total
Indonesia yang kaya sumberdaya alam mesti serius melakukan tata kelola energi dan pertambangan secara optimal dan bersih. Salah satu penopang suksesnya pengelolaan adalah pemberantasan korupsi dan mafia sektor energi. Selama ini hasil sumber daya alam yang semestinya untuk kemakmuran rakyat justru kurang optimal penanganannya. Pendapatan negara dari sektor energi hanya sebesar Rp 300 triliun masih terbilang sedikit untuk ukuran Indonesia. Kondisi ini belum diperparah dengan penyunatan pendapatan oleh praktik korupsi. Pemberantasan korupsi migas membutuhkan energi yang kuat dan strategi yang optimal.
Apresiasi patut diberikan kepada KPK yang telah merumuskan peta jalan (road map) pemberantasan korupsi 2012-2023. Salah satu unsur rumusan tersebut adalah `national interest` yaitu hal yang menjadi kepentingan publik secara nasional. Bidang utama yang dimasukkan dalam national interest antara lain ketahanan pangan, ketahanan energi, dan sektor penerimaan negara melalui pajak.
Tantangan ke depan tinggal konsistensi dan optimalisasi pemberantasannya. KPK tidak akan sukses secara paripurna jika mengandalkan dirinya saja. Konsekuensinya mesti melakukan kerjasama antar penegak hukum. Edy (2014) mengusulkan adanya roadmap pemberantasan korupsi yang disusun bersama antara KPK, POLRI dan Kejaksaan. Diantaranya mesti ada yang berkonsentrasi mencegah serta menindak kebocoran di sektor energi.
KPK penting fokus pada penanganan kasus korupsi sektor energi yang skala prioritasnya adalah kasus-kasus `grand corruption`. Abraham Samad pernah menjelaskan bahwa grand corruption merupakan kasus yang berdampak luas pada `national interest`, melibatkan aparat penegak hukum, para pengambil kebijakan serta tergolong kejahatan sindikasi dan terorganisasi. Kategori `grand corruption` dapat dilihat dari dua hal yaitu pelaku dan jumlah kerugian negara.
Hal penting lainnya adalah prioritas pencegahan. Sekuat apapun energi KPK atau penegak hukum lain mustahil meberantas korupsi sektor energi jika hanya mengandalkan penindakan atau penangkapan. Korupsi sektor energi diprediksi cukup sistematis melibatkan mafia. Pencegahan dapat dilakukan dengan memperkuat regulasi tata kelola energi secara ketat dan tegas. KPK juga mesti mengoptimalkan pendampingan dan monitoring terhadap sektor ini.
Sektor energi merupakan potensi devisa bagi kemajuan bangsa. Pemberantasan korupsi di sektor ini menjadi salah satu langkah penting guna mengembalikan daya guna potensi tersebut. Dan, Sudirman Said mesti membuktikan komitmennya memberantas korupsi dan mafia energi.(*)
(Dimuat di Kolom Opini BISNIS INDONESIA Edisi 29 Oktober 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H