Berbeda dengan tabiat Pandawa yang ditampilkan sebagai sosok-sosok yang bersahaja. Maklum, mereka pernah mengalami masa pembuangan belasan tahun. Bertapa di hutan, kemudian menyamar sebagai warga biasa dan mengabdi pada raja-raja yang memimpin kerajaan-kerajaan vasal Hastinapura. Bahkan, hampir-hampir menjadi korban pembunuhan yang diskenario Duryodana.Â
Singkat cerita, kisah epik ini diakhiri dengan adegan perang besar di padang Kuruksetra. Hasil akhir perang itu adalah kemenangan di tangan Yudhistira. Sayang, kemenangan itu mesti dibayar dengan banyak kehilangan. Tidak terkecuali, saudara-saudaranya sendiri. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa tewas dalam perang itu. Begitu pula beberapa putra mereka. Sampai pada akhirnya, Yudhistira berketetapan hati untuk meninggalkan dunia para ksatria. Ia mendaki puncak dan mencari makna hidup yang sejati.
Dari kisah ini, serta mempertimbangkan pernyataan Mas Fajar, muncullah sebuah pertanyaan. Apakah hanya dengan cara saling mengungguli dalam debat, sehingga para kontestan ini merasa mendapat perhatian? Tidakkah ada cara lain yang lebih bijaksana? Sebab, arti debat yang sesungguhnya bukan sekadar untuk mengecap gagasan masing-masing. Akan tetapi, ada proses dialog gagasan, pertukaran pendapat dengan menyampaikan alasan yang mendasar sehingga dapat saling mempertahankan pendapat. Bukan semata-mata menjatuhkan pendapat satu sama lain.
Tentu, seperti diucapkan Mas Fajar, kita semua menghendaki tokoh-tokoh pewayangan yang baik. Bukan sebaliknya. Maka, apakah cara Kurawa atau Pandawa yang ingin dihadirkan? Lagi-lagi, itu adalah pilihan. Selamat berlaga para kandidat.
Pekalongan, 18 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H