istri saya tengah mengandung jabang bayi anak pertama kami. Sebagai calon ibu, tentu ia ingin segala sesuatunya dipersiapkan dengan matang. Khususnya, kebutuhan untuk si jabang bayi. Lantas, di pagi yang masih cukup dingin udaranya, ia meminta saya mengantarnya ke pasar. Niatnya pingin beli kebutuhan untuk keperluan si jabang bayi saat lahir nanti. Tidak lain, yang kami tuju adalah lapak pakaian dan perlengkapan bayi.
Kira-kira, limabelas tahun silam, peristiwa ini saya alami. Ketika itu,Sekian lorong kami lalui, melintasi beraneka dagangan yang dijajakan. Sampai akhirnya tiba pula di salah satu lapak yang menjual keperluan bayi. Transaksi terjadi. Si penjual menawarkan harga barang jualannya. Dirasa masih cukup mahal, istri saya menawar. Aksi tawar-menawar harga pun berjalan cukup alot. Si penjual tak mau menurunkan harga. Istri saya masih kukuh dengan pendiriannya. Harga yang ditawarkan penjual baju bayi itu masih tergolong mahal.
Saking alotnya, tawar-menawar itu berakhir dengan ketidaksepakatan harga. Tidak ada kata deal! Hanya ada yang bikin nganyel. Si penjual itu tiba-tiba berkata, "Mbak... Mbak, isi dompetmu tuh berapa sih? Kalau nggak punya duit ya mbok jangan pingin yang neko-neko!"
Mendengar itu, saya terperanjat. Kaget sekaligus kesal. Nyaris marah. Bukan karena kata-katanya, melainkan karena itu diucapkan dengan nada sinis dan merendahkan. Ingin rasanya saya membantah. Jika perlu, membuatnya malu.
Tetapi, amarah itu redam. Saya lihat istri saya tampak santai saja. Tak menggubris ucapan si penjual itu. Meski sebenarnya sempat pula saya lihat ia seperti ngedumel. Ia berlalu begitu saja. Langkahnya dibikin lambat. Menyengaja. Lalu, tak jauh dari lapak si penjual yang galak itu, kami melihat ada lapak lain. Hanya berjarak dua lapak dari penjual tadi.
Langkah kaki istri saya semakin diperlambat. Pura-pura mencari barang-barang lain di sepanjang deretan lapak yang ada. Tetapi, ia tak juga menawar dan tak juga memilih-milih barang yang ada di dua lapak itu.
Sesampai di depan lapak berikutnya, istri saya berhenti. Sengaja berdiri di depan lapak. Tidak segera masuk. Mulailah ia memilih-milih barang, kemudian bertanya soal harga, membandingkannya dengan harga lapak yang sempat ia sambangi untuk barang-barang yang sama.
Barulah tradisi tawar-menawar menjadi ritual yang harus terlaksana. Harga yang ditawarkan istriku tidak bergeser dari harga yang ditawarkan di lapak sebelumnya. Si penjual kali ini responsnya cuma senyam-senyum. Sempat juga ia bilang ke saya, "Istri Mas pinter banget nawarnya. Nritik."
Ucapan itu sama sekali tak membuatku marah. Sekalipun sebenarnya agak tersinggung juga. Karena memang, istri saya suka menawar-nawar harga. Sebagai laki-laki, rasanya gimana gitu. Ada sedikit rasa malu bercampur jengkel. Tapi begitulah istri saya. Katanya, "Menawar itu seni!"
Saya hanya bisa menghela napas sambil mengelus dada. Sabaaar... sabar... ini ujian. Harap tenang. Jangan sampai terbawa emosi karena urusan tawar-menawar. Berat. Betapapun beratnya, tetap kudu dilakoni. Kudu kuat.
Beberapa kali istri saya njawil. Menanyakan apakah barang yang dipilihnya itu bagus apa tidak. Sekadar menyenangkan hatinya, saya jawab saja bagus. Tak berhenti di situ. Ia kemudian menanyakan pula berapa harga yang mau ditawarkan. Saya kasih saja patokan, agar ia menawar harga sepertiga dari harga yang ditawarkan.
Dugaan saya, yang dilakukan istri saya itu sekadar trik atau mungkin saja basa-basi. Ia lebih lihai soal tawar-menawar harga. Aneh rasanya kalau ia tiba-tiba mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Apalagi soal selera. Kalau saya pilihkan barang yang lain, sekalipun hanya beda warna, bisa rame tuh jadinya.
Saya jadi ingat, ini seperti permainan drama. Hanya panggungnya di pasar beneran. Karakter tokoh-tokohnya pun sangat realis. Tidak seperti sedang menghafal naskah atau menunggu giliran. Sikap tubuhnya sangat natural. Ekspresinya, apalagi!
Sampai di rumah, istri saya terlihat girang. Mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan dengan harga cocok. Kata istri saya, "Yang namanya menawar itu bukan soal harganya. Tapi, soal kepuasan."
Kepuasan? Rasanya aneh. Sebab, bagi saya, yang namanya menawar harga itu mencerminkan mental diskonan, pelit, bahkan mental gratisan. Apa nggak lebih bisa dianggap sebagai sesuatu yang memalukan?
Istri saya tertawa. Menurutnya, orang yang nggak bisa menawar harga itu orang yang nggak tahu itung-itungan. Bukan karena gagal belajar matematika. Tetapi, gagal memahami bahwa di dalam dunia bisnis, seorang pedagang bisa mengambil keuntungan besar jika tidak ditawar. Bahkan, bisa melebihi batas kewajaran. Misal, harga ia beli barang seratus ribu. Lalu, dijual dua ratus lima puluh ribu. Kan nggak wajar. Kalau pun ada biaya angkut, ongkos nggaji penjaga toko, dan lain-lain, itu kan terakumulasi. Jatuhnya ke per bijinya paling nggak sampai lima puluh ribu.
Hmm... istri saya sepertinya lebih pinter ngomongin soal bisnis. Terutama soal dagangan. "Tapi, kalau harus berhadapan dengan penjual yang galak?" tanya saya.
"Itu wajar. Nggak harus dimasukkan ke hati. Itu akting, Yah. Biasa... itu cara dia menghadapi pembeli yang super ngeyel seperti aku," katanya.
Oh... gitu rupanya. Baiklah. Sepertinya saya juga kudu belajar akting sama pedagang galak tadi. Heu heu heu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H