Tulisan adalah sebuah ruang gelap yang menawarkan sekian banyak kemungkinan. Peran makna tidak lagi ditentukan oleh teks, melainkan oleh pembaca. Dengan begitu, setiap orang boleh-boleh saja memaknai tulisan itu sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya. Disesuaikan dengan pengetahuan dan pengalaman tiap-tiap individu.
Berangkat dari itu, ketika aku berhadapan dengan tulisan Radhar Panca Dahana, tepatnya sebuah pengantar untuk buku kumpulan esainya Dalam Sebotol Coklat Cair, aku merasa dibelalakkan. Tulisan itu seolah-olah menarikku untuk memasuki kedalamannya. Lalu, ketika aku masuk, tiba-tiba sebuah energi yang besar datang dari arah belakang. Melemparkanku dengan hentakan yang dahsyat. Aku terpelanting. Masuk ke dalam lorong. Menembus ruang-waktu. Aku dikembalikan pada suatu masa jauh sebelum hari ini.
Aku ingat ketika dulu bekerja menyusuri jalanan. Berbekal alat perekam, pulpen, dan buku kecil aku mencatat setiap kejadian dan setiap pernyataan orang-orang yang kutemui. Kemudian sesegera mungkin aku olah semua itu menjadi sebuah tulisan pendek. Lalu, dengan telepon genggam, segera kulaporkan peristiwa dalam catatanku itu. Dipancarkan lewat gelombang radio, suaraku bisa terdengar sampai seluruh pelosok negeri ini.
Betapa waktu itu aku sangat menyenangi pekerjaan itu. Sebuah petualangan yang nyaris tak mengenal waktu. Sebuah pengembaraan yang mengasyikkan. Karena kupikir, aku diberi kesempatan untuk memelajari kehidupan dengan beragam bentuknya. Dari yang paling tak mengenakkan sampai pada hal-hal yang tampak mewah. Dari tangisan yang menguras airmata sampai mobil mewah yang dihiasi tawa renyah. Dari kesetiaan pada kehidupan sampai pada perselingkuhan moral. Semua aku saksikan.
Tetapi, apa yang kuanggap sebagai sebuah kesenangan itu tiba-tiba dihancurkan oleh Dahana. Dalam sekelumit pengantarnya itu, Dahana menuturkan gambaran lain dari seorang juru warta. Ada kegelisahan yang sangat mengerikan. Terutama saat ia harus berhadapan dengan kenelangsaan yang mesti ia tulis sebagai "berita". Ada semacam derita batin yang begitu dalam dan penuh luka. Dahana mengisahkan bagaimana tangannya tak mampu menuliskan berita tentang kematian seseorang karena menjumpai istri korban yang ketakutan pada kesepiannya. Lalu, memutuskan untuk tak menuliskan peristiwa itu. Ia memilih pulang ke kantor dengan tangan kosong. Tak ada berita.
Mungkin sebagian orang akan menganggap tindakan Dahana sebagai tindakan yang mulia, karena ia masih memiliki kesanggupan untuk mendengar keheningan dan setia pada hati nurani yang menjadi pilihannya. Tetapi, pasti ada juga yang beranggapan itu sebagai tindakan bodoh. Tak mencerminkan profesionalitas seorang juru warta. Juga pasti ada yang menganggap itu sebagai tindakan yang sia-sia. Peluang di depan mata, mengapa harus dilepas? Andai ia dengan bekal yang memang sangat mantap itu mampu dan sanggup menuliskan peristiwa itu sebagai "berita" sudah pasti akan menjadi headline. Mungkin pula menjadi trending topic. Dan itu artinya, akan sedikit mengangkat popularitasnya sebagai seorang juru warta surat kabar terkemuka.
Tetapi bagiku, tindakan Dahana adalah tindakan yang berani. Ia muncul dari kejernihan penglihatan batin, juga dari beningnya nada keheningan. Kesanggupan semacam ini yang membuatku serasa dipukul. Telak!
Kini, deretan huruf-huruf itu tampak mengejekku. Merayakan kekalahanku. Ah, rasanya seperti jatuh dan tertimpa tangga. Apes dobel!
Bagaimana tidak, sosok Dahana dengan segala kehebatannya saja mampu dan sanggup mengambil risiko berat itu tanpa keraguan. Tanpa pertimbangan praksis. Sementara aku? Oh! Betapa tololnya!
Pernah pada sebuah pagi, di sebuah kampung pinggiran kota Semarang, kampung yang nyaris ditelan laut Jawa bulat-bulat, aku dapati di sana seorang perempuan tua tengah duduk di teras gubuk reyot yang digenangi luapan air laut. Kuhampiri. Kutanya ia, apa gerangan yang ia lakukan? Siapa saja yang hidup serumah? Dan segudang pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan itupun terjawab. Tak ada yang meleset.
Perempuan tua itu rupanya tinggal sebatangkara. Tak ada sanak keluarga. Anak-anak beserta cucu-cucunya telah pergi meninggalkannya, entah kemana. Suaminya telah lama meninggal. Lalu, mengapa ia duduk termangu di teras rumahnya, di atas sebuah bangku panjang yang terbikin dari kayu? Itu karena ia tak punya sepeserpun uang untuk ongkos becak ke kantor Pos besar. Terlalu mahal baginya. Ia putuskan untuk duduk diam saja di rumah ketimbang harus mengambil jatah dana bantuan yang mestinya ia terima. Apalagi dalam kerentaan usia, ia merasa tak mungkin bisa berlama-lama di kantor Pos. Bisa-bisa ia akan menjadi sakit. Kena angin, udara panas, dan antrean yang memanjang. Kalaupun ia ambil jatahnya itu, toh tak cukup untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Ya, perempuan tua ini sudah terlalu uzur untuk bekerja. Tubuhnya yang renta mana mungkin bisa diajak bekerja.