Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ditampar oleh Tulisan Radhar Panca Dahana

27 Desember 2023   21:57 Diperbarui: 27 Desember 2023   22:45 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Radhar Panca Dahana (sumber foto: kompas.id)

Ada kerumunan di sana. Orang-orang mengerubuti sebuah akuarium. Tampak seekor di dalamnya. Berenang dan melayang di antara senyawa H2O. Tanpa peduli, aku berseru dari kejauhan. Kutawarkan ikan Arwana hasil tangkapanku itu kepada mereka. Seketika mereka memalingkan muka ke arahku. Memandangi apa yang aku bawa. Sebuah ember berisi ikan Arwana.

Sejurus kemudian, beragam tanya pun datang. Tetapi, pertanyaan itu sebenarnya nyaris sama. "Apa yang kau bawa?", "Berapa kau tawarkan?". Karena saking semangatnya, akupun menjawab pertanyaan itu dengan lantang. Bahwa yang kubawa adalah ikan Arwana. Kusebut pula harga yang kuminta. Tetapi, mereka tak percaya. Mereka kembali mengerubuti akuarium itu. Ya sudah, aku tinggalkan saja ember beserta isinya, seekor ikan Arwana. Toh ikan itu bukan milikku. Aku kembali ke perahuku, kembali ke sungai yang tenang itu. Tetapi, baru beberapa langkah saja aku tinggalkan pasar ikan itu, dari arah belakang aku dengar suara gaduh. Kupalingkan muka sejenak. Kulihat mereka yang mula-mula mengerubuti akuarium itu saling berebut ember yang kubawa. Memandang itu, awalnya ingin aku kembali dan merebut ember itu. Tetapi, apalah gunanya. Kulanjutkan saja langkahku menuju sungai yang tenang itu. Menuju perahuku.

Kini, di atas perahu aku nikmati taburan cahaya rembulan yang dihiasi kerlip bintang gemintang. Indah nian pemandangan malam. Sampai-sampai aku lelap dibuatnya. Tidur di atas perahu kecilku.

Esok pagi, aku dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Wajah asli sungai itu tampak lebih menyeramkan. Kawanan binatang predator bertengger di tepian sungai. Mulut mereka menganga dengan gigi-gigi taringnya yang tajam. Kulit mereka tampak keras dan menyeramkan. Beberapa di antara mereka memandangiku. Tatapan matanya tajam. Bersiap memangsaku. Oh!

Sialan! Buaya-buaya itu mulai mendekati perahuku. Aku yang semula berusaha tetap tenang kini mulai sedikit gugup. Kukayuh perahu. Berusaha menghindari terkaman buaya-buaya ganas itu.

Ya, dunia adalah rimba. Setiap tempat adalah medan risiko. Tak bisa terelakkan. Tak bisa menghindar. Kini tinggal sebuah keputusan pasti. Tetap bertahan hidup dengan melawan, atau sekadar mencari jalan selamat dengan mengubah diri menjadi sama persis dengan mereka. Menjadi buaya.

Dan lagi-lagi, aku dihajar oleh tulisan Dahana, seorang lelaki yang hidup di tengah-tengah kawanan buaya. Tetapi, tetap menyetiai diri sebagai manusia. Aku terpukul oleh tulisan itu. Terpukul hingga tersungkur. Terpental ke sudut kesunyian yang begitu rupa. Tersudut di ruang gelapku sendiri.

Pekalongan, 5 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun