Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ini Rektor atawa Mahasiswa? Kok Gini Amat?!

27 Desember 2023   02:53 Diperbarui: 28 Desember 2023   17:45 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Mahasiswa berdiskusi (sumber: kompas.com)

Sabtu sore (23/12/2023), ketika saya sedang asyik bercengkerama dengan warga Desa Sukajadi, Ciamis, saat berkunjung ke rumah mereka, mendadak hp android saya bergetaran. Saya abaikan getaran itu. Saya tak ingin membuat pembicaraan saya dengan warga Desa Sukajadi terganggu gara-gara sikap saya yang mengabaikan warga dan memilih membaca WA. Itu akan tidak mengenakkan bagi warga yang sedang menyambut ramah kedatangan saya.

Baru setelah pertemuan itu usai, kembali ke tempat saya menginap, yaitu Sakola Motekar, saya meluangkan waktu untuk membuka-buka halaman hp saya. Rupanya ada sebuah pesan singkat terkirim ke nomor WhatsApp saya. Pengirimnya seorang mahasiswa semester 3 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Siapa namanya, tidaklah penting. Yang lebih penting adalah isi pesannya. Begini tulisan pesan itu:

tangkapan layar pesan singkat mahasiswa (dok.pribadi)
tangkapan layar pesan singkat mahasiswa (dok.pribadi)

"Maaf mengganggu waktu nya pak ribut  saya (menyebut namanya) untuk wawancara diskusi tentang jurnalistik misalnya kalo hari Senin sore jm 3/4 bisa nggak ya Asalnya saya ada tugas matkul sosiolinguistik untuk perihal jurnalistik"

Pesan itu dikirim pada pukul 17.31 dan baru saya baca 16 menit kemudian. Saya sempat tertawa kecil membaca kalimat pada pesan itu. Selain tata tulisnya kacau, struktur kalimat dan komunikasinya juga buruk. Antara kalimat dan maksud yang ingin disampaikan sama sekali tidak sinkron.

Tapi, saya maklum, barangkali mahasiswa yang satu ini belum mendapatkan pelajaran tentang bagaimana berkomunikasi secara tertulis melalui platform media sosial. Konon, di bangku kuliah yang ia ikuti, yang ada cuman mata kuliah kreasi konten. Jadi, mungkin saja mahasiswa yang satu ini lebih sibuk membikin konten ketimbang berkomunikasi.

Meski begitu, saya tetap berusaha menghargai usaha mahasiswa ini. Saya balas, "Kalau hari Selasa aja gimana? Senin saya masih ada agenda di Bandar."

Balasan itu selekas mungkin ditanggapi mahasiswa itu delapan menit kemudian. Ia bilang, "Maaf sebelumnya pak hari Selasa siang jm 11 udah dikumpulkan."

Tangkapan layar pesan singkat mahasiswa (dok.pribadi)
Tangkapan layar pesan singkat mahasiswa (dok.pribadi)
Sampai di sini, saya agak bingung. Sebenarnya apa hubungan saya dengan tenggat waktu pengumpulan tugas itu. Lagian, saya juga tidak tahu-menahu soal tugas itu. Apalagi, saya bukan dosennya.

Saya tak langsung membalas. Kang Deni, pendiri Sakola Motekar, sedang asyik mengajak bincang-bincang. Saya mesti fokus pada perbincangan itu. Setelah benar-benar ada waktu, saya baru membalas. Kira-kira tujuh menit setelah kiriman WA mahasiswa itu nyantol di hp saya.

"Kalau gitu Senin malam aja gimana? Ketemunya di RKB aja," balas saya via WA. Maksud saya itu sekaligus solusi yang memudahkan untuknya. Terlebih, jarak antara kampus tempatnya kuliah tak jauh dari studio radio tempat kerja saya. Paling satu atau dua menit sampai.

Tangkapan layar pesan WA dari mahasiswa (dok.pribadi)
Tangkapan layar pesan WA dari mahasiswa (dok.pribadi)

Lima menit kemudian, mahasiswa itu mengirim pesan lagi. "Kalo misalnya hari Minggu sore jm 4 bertemu dengan pak ribut di gedung C," tulisnya di WA.

Saya langsung membalas balik, "Hari minggu saya baru tiba di Pekalongan jam 4 sore. Kalau malemnya sih gpp. Jadi saya ada jeda waktu untuk istirahat. Soalnya saya perjalanan dari Ciamis."

Lewat jawaban itu saya sebenarnya sedang menguji kepekaan mahasiswa itu. Meski saya tak yakin betul ia peka. Ternyata, keragu-raguan saya itu benar. Mahasiswa itu lekas-lekas membalas:

"Insyaallah badha sholat Maghrib bertemu di gedung C lantai 2 aja pak. Hari Minggu mlm," tulis mahasiswa itu.

Balasan yang aneh. Keterangan yang saya berikan rupanya tak cukup membuat si mahasiswa yang satu ini peka. Malahan, terkesan nglunjak. Bukannya menemui orang yang dibutuhkan, eh malah menyuruh saya untuk datang menemuinya. Bos di tempat kerja saya pun nggak begini-begini amat kalau meminta saya menemuinya.

Tapi, oke deh. Saya kasih hati dulu untuk mahasiswa yang satu ini dengan balasan:

"Oke," jawab saya.

Tangkapan layar WA (dok.pribadi)
Tangkapan layar WA (dok.pribadi)

Berganti hari. Minggu (24/12/2023), pukul 06.31, sepagi itu si mahasiswa sudah kirim WA. Saya belum sempat membaca. Pesan sudah dihapus. Diulang lagi pada pukul 09.32, juga dihapus sebelum sempat saya baca. Begitu juga pada kiriman WA pada pukul 09.35, dihapus sebelum saya membacanya.

Pagi itu banyak kegiatan di Sakola Motekar yang saya ikuti. Saya memang tak sempat membuka hp. Jadi, pesan-pesan itu saya abaikan. Saya akan membuka hp, setelah benar-benar memungkinkan. Kecuali, kiriman pesan dari orang-orang dekat atau yang sifatnya urgen.

Pukul 14.00, mahasiswa itu mengirim pesan WA lagi. Bunyinya: "Insyaallah nanti mlm ketemu pak kalo acara prepare film udah selesai." Saya abaikan pesan itu. Saya masih dalam perjalanan pulang ke Pekalongan.

Tetapi, rasa-rasanya ada yang menggelitik dari pesan itu. Sampai-sampai membuat saya tertawa geli. Benak saya berkata, 'Ini mahasiswa benar-benar mahasiswa yang super sibuk rupanya.'

Pukul 16.45, mahasiswa ini kembali mengirim WA. "Nanti habis sholat Maghrib ketemu di lantai 2 gedung C atau diapartemen putra," tulisnya. Kali ini saya geleng-geleng bacanya. Bagaimana tidak, ini mahasiswa sudah seperti bos saja.

Untuk menyenangkan hati bos yang satu ini, saya balas WA-nya, "Oke. Habis Maghrib yaaa."

"Baik pak. Dirusun putra atau digedung C lantai 2," balasnya lagi.

Tangkapan layar WA (dok.pribadi)
Tangkapan layar WA (dok.pribadi)

Dengan sedikit menahan rasa kesal, saya balas saja, "Manut deh." Saya kesal, karena saya pikir sejak awal saya sudah memberikan keterangan yang jelas. Bahwa dengan segudang aktivitas yang saya jalani beberapa hari ini, saya butuh waktu untuk beristirahat. Akan tetapi, keterangan itu terasa sia-sia saja.

Malah, ia masih saja memberikan tawaran kepada saya, "Misalnya kalo ruang meeting rusun."

"Monggo," jawab saya singkat. Karena, saya tak mau bertele-tele. Sekaligus untuk memotong pembicaraan. Apalagi saya masih dalam perjalanan.

Pukul 18.25, saya baru saja tiba di rumah. Belum sempat mandi, belum pula sempat beristirahat. Mahasiswa yang satu ini kembali berkirim pesan. Bunyinya, "Udah saya tunggu kehadiran pak ribut."

Saya biarkan saja. Tak saya balas. Badan saya masih lelah, lengket oleh keringat. Saya masih butuh sebentar untuk merebah. Lucunya, ini anak kok sudah seperti pejabat aja nih. Main nunggu kehadiran segala. Lha yang butuh siapa?

Baru sekitar 29 menit berikutnya, saya balas pesan mahasiswa itu, "Sebentar yaaa. Saya baru sampai rumah dari Ciamis. Sehabis isya saya ke situ."

Enam menit berikutnya, ia membalas, "Ok bos."

Bas bos bas bos, bos nd*smu! Sejak kapan saya jadi bosmu? He he he.... Biar begitu, saya paham, balasan itu ingin menunjukkan sikap yang dekat. Saya sih tak memasalahkan sapaan bos itu. Tetapi, saya agak mangkel saat itu. Sebab, saya tak kenal-kenal akrab dengan mahasiswa itu. Ditambah, kondisi badan yang juga sedang lelah-lelahnya.

Saya abaikan saja pesan yang barusan. Saya mandi. Lalu, sebentar merebah. Baru pukul 19.47 saya siap meluncur ke lokasi. Tetapi, saya mesti sebentar mampir ke tempat lain terlebih dahulu. Ke Warung Sebeh untuk makan malam dan sebentar menjumpai teman.

Usai sedikit berbincang, saya pamit dan segera menuju ke Rusunawa di bilangan jalan Singasari. Menemui mahasiswa yang rasa bos itu. Ia mewawancaraiku dengan pertanyaan yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Saya sampai menanyakan, sebenarnya apa yang dikehendaki dari wawancara itu. Ia sendiri juga tak paham.

Lalu, saya berusaha meluruskan maksud penelitian yang hendak ia lakukan. Sampai-sampai saya seperti memberinya kuliah Sosiolinguistik, dengan menjelaskan teori dan metode penelitiannya. Ia masih juga tak mengerti. Ia masih memaksakan diri untuk melakukan wawancara yang tidak jelas itu.

Saya ulang lagi ceramah kuliah singkat Sosiolinguistik saya. Kali ini, saya benar-benar tak peduli lagi apakah ia paham atau tidak. Dan, saya katakan, bahwa wawancara yang ia lakukan itu nggak jelas. Nggak sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam penelitian yang diharapkan. Sampai di situ, saya hentikan wawancara itu. Tetapi, tetap saya beri saran untuk penelitiannya. Ah, benar-benar sebuah pertemuan yang sia-sia dan buang waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun