Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Membaca Gus Dur

22 Desember 2023   19:02 Diperbarui: 22 Desember 2023   19:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca Gus Dur adalah membaca strukturbahwa di dalam kalimat mesti mengandung unsur-unsursubjek, predikat, objek, keterangan mesti terukur.
Kalimat tunggal dan kalimat majemuk kudu diatur
sehingga, kohesi dan koherensi antarkalimat akur.
Menghasilkan paragraf yang taat alur,
menciptakan wacana yang mudah ditutur.
Korelasi dan relevansinya pun nggak ngawur.

Ini memang pelajaran bahasa yang kabur.
Sebab, pelajaran bahasa kerap dikubur,
dianggap remeh oleh sifat takabur.
Padahal, dengan bahasa pasal-pasal diatur,
mewujudkan impian negeri sejahtera, adil, dan makmur.
Baldatun thayyibun warrabbun ghafur.

Tetapi, marilah kita lihat sedulur,
pemain catur di gelanggang itu tak cakap bertutur.
Budi bahasanya tak juga teratur.
Mereka suka ngelantur sampai banting papan catur.
Maka, jangan tanya soal sikap jujur.
Bahasa mereka lebih sukar diukur.
Kadang suka main tarik ulur,
tidak taat pada kaidah yang terstruktur.
Mereka lebih sibuk minta struk,
atau rebutan tiket pesawat untuk tur.
Pulang-pulang seolah bisa ngatur.
Begitulah, para pemain catur.

Ah, sebaiknya kita kembali membaca Gus Dur.

Membaca Gus Dur, membaca ide yang subur.
Alurnya kadang maju, kadang mundur,
tak jarang pula keduanya dicampur.
Seperti rujak cingur, bahasa Gus Dur
segar berkelakar, renyah bertutur.
Bahasa Gus Dur, bahasa lentur.
Yang sesungguhnya tegas dan keras dibuatnya kendur.
Yang sesungguhnya pedas dan cadas diolah ngelantur.
Yang sesungguhnya tandas dan panas seperti nglindur.
Kita, hanya tertawa sambil kukur-kukur.

Mengapa kukur-kukur?
Pertama, kita tak menjangkau bahasa Gus Dur.
Kedua, bahasa Gus Dur seolah tak terstruktur.
Ketiga, bahasa Gus Dur sulit kita ukur.

Mengapa tak bisa kita ukur?
Bukan lantaran bahasanya yang dhuwur,
bukan pula karena nalar kita tak akur,
tetapi, kita kehilangan alat ukur.
Karena saat pelajaran bahasa kita suka mendengkur.
Ketika ditanya, kita ngelantur.
Bahkan tak jarang kita nglindur,
dengan pipi basah oleh air liur.

Tetapi, tunggu dulu sedulur,
bisa saja, semua itu lantaran salah alat ukur.
Maka, wajar jika pelajaran bahasa, pelajaran nglindur.
Logika bahasa kerap tak dijadikan sebagai alat ukur.

Betapa, akan berapa lama lagi kita kukur-kukur?
Ataukah cukup kita bersyukur?
Ah, gitu aja kok repot. Begitulah kelakar Gus Dur.

Pekalongan, 21 Desember 2023
Ribut Achwandi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun