Jelang subuh, ketika corong masjid-masjid di sekitar kampung mengumandangkan lantunan ayat-ayat suci, saya seperti mendapatkan bisikan yang demikian halus. Mengantarkan saya pada sebuah kata, yang kemudian saya ketikkan pada layar laptop. Kata itu adalah "Hoegeng". Kata yang juga nama seorang jenderal polisi berhati bening.
Sayang, sehabis nama itu saya ketik, rupanya tak ada kata-kata lain yang menyusul. Ya sudah. Saya diamkan saja. Sementara layar laptop hanya menampilkan nama itu.
Saya pandangi penuh-penuh nama itu. Lama. Pandangan mata saya benar-benar terpaku pada layar laptop. Sampai-sampai langit di luar mulai tampak terang.
Istri saya yang terbangun saat subuh menghampiri. Ia menegur, "Tidur dulu, Yah. Istirahat."
"Sebentar, Ma. Ini belum selesai. Pagi ini aku harus menyerahkan naskahnya ke Bu Wakapolres," jawab saya.
"Bisa kan dilanjut nanti?"
"Aku takut kalau waktunya nggak nyampe, Ma. Lagian nanti janjiannya jam 9 pagi," balas saya.
Ia pun lekas beringsut. Mulai sibuk dengan pekerjaan rumah.
Sebentar saya tinggalkan layar laptop. Membiarkannya tetap menyala. Saya kerjakan hal lain yang perlu. Membangunkan anak-anak. Lalu, mengajak mereka mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan.
Setelah semua selesai, saya kembali pada layar laptop itu. Empat jam lebih layar itu hanya membubuhkan nama Hoegeng, tanpa kata-kata lain yang tertulis di sana. Saya tertawa kecil. Lalu, menggumam, "Eyang Hoegeng, apa sebenarnya yang hendak Eyang katakan kepada mereka? Katakanlah! Lalu, izinkan saya menuliskannya. Karena, saya tahu, tidak mudah untuk mengatakannya. Tetapi, saya pikir, itu harus dikatakan, Eyang. Agar mereka mengetahui dan mengenal siapa sesungguhnya diri mereka, Eyang. Katakan saja, Eyang. Saya yang akan menuliskannya."
Entah, darimana datangnya. Untuk beberapa lama kemudian, saya seperti mendapatkan dorongan daya yang tidak diketahui. Kata-kata itu terdorong keluar dari balik tempurung kepala, lalu mulai menyusun barisan kata, menjadi kalimat, menjadi alenia pembuka. Kata-kata itu tak jauh dari bahasa cinta.