Sejak itu, aku diam. Aib itu sangat menyakitkan. Aku tak sanggup menceritakan semuanya. Kepada Ibuku, aku tak sanggup. Meski ia sesungguhnya cukup mengerti. Kepada Ayahku, aku tak mungkin menceritakannya. Itu hanya akan menambah masalah. Makin rumitlah semuanya.
Pengalaman pahit itu makin getir kurasa, ketika sebuah kasus serupa menimpa seorang adik tingkatku. Ia beruntung, karena ia berani buka suara. Tak hanya itu, ia juga didukung oleh teman-teman mahasiswa yang berempati padanya. Seketika, kampus bergejolak!
Demo besar-besaran digelar. Beberapa dari mahasiswa melantangkan suara, membela para korban. Tak hanya seorang. Ada puluhan!
Aku duduk termangu menyaksikan mereka. Meratapi masa laluku yang hampa. Aku terharu sekaligus lara. Kutekan rasa perih hatiku. Kubekap suaraku. Membiarkan suara itu hanya menggema di dalam hatiku.
Aku segera berlari menjauh. Aku tak kuasa menahan air mata, karena bukan hanya cekam dan rasa kecewa yang menggayuti pikiranku. Akan tetapi, penyesalan yang aku takutkan bakal tak berkesudahan.
Esok hari, kudengar kabar. Tak ada tindakan apa-apa, kecuali orang yang telah menebar cekam itu dirumahkan. Sementara, tak pula ada kejelasan hukum baginya, dan tak pula perlindungan hukum bagi korban.
Lagi-lagi, berakhir kecewa.
Kini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Betapa keangkuhan telah merajai segala pikiran orang-orang yang kukenal baik itu. Demi mempertahankan sesuatu yang sesungguhnya tak jelas, mereka rela mengorbankan yang mestinya mereka bela.
Keputusan yang mereka ambil tidak lebih sekadar usaha mereka menopengi diri. Alih-alih membela nama baik, mereka sesungguhnya hanya bersembunyi di balik kebesaran nama kampus. Mereka tak benar-benar membela korban yang jumlahnya di luar dugaan itu. Ratusan mahasiswa dihantui rasa cekam. Entah, akan sampai kapan rasa itu pupus dan hilang. Â Mungkin, akan terbawa selamanya.
Sementara, orang-orang yang kukenal baik itu membiarkan begitu saja lelaki durjana yang telah menebarkan rasa cekam itu dengan kamera itu. Mereka melepaskan lelaki durjana itu tanpa hukuman.
Inikah keadilan?