Cukuplah aku mengerti sekarang. Mengapa Tuhan menakdirkanku sebagai seorang perempuan. Semua menjadi terang di mataku, apa itu rasa keadilan. Bahwa, ketidakadilan adalah keadilan itu sendiri. Dan, akulah saksi atas ketidakadilan itu.
Disiram cahaya matahari yang menyengat, sepenggal siang di musim kemarau yang panjang telah menggiring sekelompok anak muda berjas almamater berhamburan di halaman kampus. Ruang-ruang kelas kosong. Sementara, para dosen terbengong menyaksikan pemandangan itu.
Mereka berdiri di bawah kaki gedung-gedung bertingkat. Melantangkan suara sambil mengepalkan tangan dan diangkat tinggi-tinggi. Seolah hendak merobohkan keangkuhan gedung-gedung tinggi itu.
Terlihat pula, beberapa di antara mereka menaiki panggung kecil berlatar bentangan layar yang bertuliskan "MIMBAR BEBAS". Satu per satu mereka angkat bicara dengan pelantang suara. Suara mereka lantang, meneriakkan sengkarut yang membuat kampus mereka gonjang-ganjing. Suara mereka seperti letupan-letupan yang dididihkan oleh rasa kecewa yang tak kuasa mereka bendung, hingga nyaris menjadi sebuah kemarahan. Apa yang membuat mereka marah?
Semua bermula dari sebuah ketidaksengajaan yang menyingkap sebuah kesengajaan. Ketidaksengajaan yang pada akhirnya mengungkap niat busuk dari kesengajaan yang menebarkan kecemasan. Sayang, ketidaksengajaan itu kemudian menjadi tak ada artinya sama sekali, ketika kesengajaan yang diliputi niat busuk itu terabaikan oleh mereka, para pemegang kuasa. Mereka yang memiliki wewenang untuk mengolah kesengajaan. Tetapi, mereka bungkam. Entah apa masalahnya.
Di ruang kantornya, Wicaksono tampak mondar-mandir. Beberapa kali ia mengintip dari balik tirai yang terpasang di jendela. Menatap ke arah kerumunan anak-anak muda itu. Lalu, kembali duduk di meja kerjanya yang kesepian, karena memang tak ada meja kerja lain di ruangannya. Hanya meja kerjanya yang terpaku di ruangan itu. Selebihnya, meja kursi tamu.
Kursi empuk yang membuat pantat Wicak nyaman itu belum lama ia duduki. Sudah lama ia mengincar kursi itu. Begitu ia dapatkan, kursi itu diguncang oleh suara sumbang para mahasiswa. Padahal, ia baru saja mengambil satu langkah untuk membuat kampus yang ia pimpin itu maju.
"Bagaimana baiknya, Pak?" ucapan itu meluncur begitu saja dari mulut Cahyo, orang yang selama ini dipercaya Wicak untuk mengurusi mahasiswa.
Setengah malas, Wicak membalas, "Apanya yang bagaimana?"
"Maksudnya, kalau memang saya perlu turun menemui mereka, saya siap. Tetapi, saya butuh keterangan dari Bapak agar bisa saya sampaikan kepada mereka," jelas Cahyo.