Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Empat Pemuda Desa Didikan Industri Pendidikan

6 September 2023   08:56 Diperbarui: 6 September 2023   17:50 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya maklumi. Mungkin saja karena mereka baru menyaksikan gemerlapan kota. Terpesona oleh apa yang mereka tangkap sebagai sesuatu yang mewah, sesuatu yang sebelumnya hanya mereka saksikan dari kejauhan, dari atas lereng. Mereka tengah kepincut pesona kehidupan kota yang menurut mereka begitu berbeda dengan desa. Mereka merasa kehidupan kota itu bebas, tidak seperti di desa yang menurut mereka terlalu banyak aturan adat yang mengikat. Aturan main itulah yang menurut mereka membuat kehidupan di desa kurang berkembang.

Sampai di sini saya lantas mengajukan pertanyaan tentang apa yang mereka sebut sebagai kemajuan. Dugaan saya, sebagai mahasiswa, mereka tentu punya bekal yang cukup untuk mengatakan apa itu kemajuan. Mereka pasti pernah belajar mengenai ukuran standar kemajuan.

Kali ini, jawaban yang mereka berikan justru memperlihatkan sisi inverior sebagai anak desa. Mereka masih terjebak pada kulit luar kehidupan yang ditampilkan oleh orang-orang kota. Kemudian, membandingkannya dengan perikehidupan di desa tempat mereka berasal. 

Desa, kata mereka, bukanlah tempat yang cocok untuk membangun kehidupan di masa-masa yang akan datang. Itu pula yang menurut mereka membuat banyak anak muda memutuskan merantau ke kota. Mereka, dengan berbagai bekal pengetahuan yang didapat di bangku-bangku kampus itu, berangan-angan untuk mengubah kehidupan desa. Alih-alih mencontoh apa-apa yang ditemuinya di kota tempat mereka merantau, mereka ingin menyulap desa mereka menjadi seperti yang ada di kota. Tetapi, itu semua hanya di wilayah permukaan. Gagasan itu makin menampakkan betapa mereka sendiri mulai merasa asing dengan kehidupan desa asal mereka.

Bagaimana tidak, ketika saya tanyakan satu per satu, apakah mereka bersedia melanjutkan kehidupan pertanian di desa mereka, semua menjawab tidak. Mereka tidak mau menjadi petani. Pertama, ada pandangan masyarakat di desa, bahwa seorang sarjana tak pantas menjadi petani. Sarjana mesti bekerja di kantoran, menjadi orang terpandang. Kedua, biaya sekolah mereka bagi orang-orang desa terlampau mahal. Bahkan, sampai mengorbankan sebagian petak sawah milik orang tua. 

Sementara, jika mereka kembali menjadi petani, penghasilan mereka tidak akan pernah cukup untuk bisa membeli petak lahan sawah yang baru. Ketiga, sejak mereka duduk di bangku kampus, mereka sudah asing dengan dunia pertanian. Apalagi jurusan yang mereka ambil tidak bersinggungan langsung dengan pertanian. Keempat pemuda desa ini kuliah di jurusan manajemen bisnis, pendidikan, keperawatan, dan teknik industri.

Menyikapi hal itu saya mulai geregetan. Saya katakan saja pada mereka, bahwa justru dengan bekal pengetahuan yang mereka dapatkan dari kampus itu mestinya mereka bisa meningkatkan harkat martabat para petani. Yang belajar di manajemen bisnis, bisa saja membuat sebuah sistem tata kelola sumber daya manusia di desa sehingga pertanian yang dikelola masyarakat bisa lebih maju. Yang belajar di pendidikan, bisa saja meningkatkan kualitas sumber daya manusia di desa, terutama generasi selanjutnya, agar kedudukan mereka sebagai petani menjadi diperhitungkan. 

Yang belajar di keperawatan, bisa saja ambil bagian bagaimana mengelola sumber daya yang ada di desa untuk menemukan metode keperawatan yang membumi. Yang belajar di teknik industri, bisa saja menggunakan bekal pengetahuannya untuk meningkatkan produksi pertanian di desa. Bukan malah menyerahkan diri pada skema kehidupan yang industrial. Menjadi manusia upahan tanpa memiliki kedaulatan dalam menentukan nasib.

Desa, menurut saya, adalah sebuah tatanan kehidupan yang telah mengakar sejak dahulu. Jauh sebelum negara ini didirikan, desa sudah kokoh dengan segala perangkat yang dimilikinya. Desa memiliki kisah-kisah yang begitu rupa kaya. Akan tetapi, kekayaan dan kehebatan desa dirobohkan oleh sistem baru yang demikian asing. Bagi saya, desa adalah akar kehidupan bangsa ini. Memodernisasi desa itu perlu, tetapi bukan berarti mengubah atau mengganti nilai-nilai keluhuran yang dimiliki desa. 

Sebaliknya, nilai-nilai itu mesti diambil sebagai spirit untuk membangun desa. Bukan sebaliknya, membunuh nilai-nilai itu, lalu menukarnya dengan nilai-nilai baru yang asing dan justru akan mengubah perikehidupan menjadi serba asing. Itu malah akan merusak kehidupan desa. Dan, dengan merusak kehidupan desa, maka akan rusaklah seluruh kehidupan. Sebab, desa adalah akar kehidupan bangsa.

Di sesi akhir obrolan, kami kemudian menginsyafi. Bahwa segala yang kini merasuk ke dalam pikiran, adalah buah pendidikan yang terindustrialisasikan. Pendidikan yang digadaikan kepada dunia industri. Apakah salah? Tentu tidak. Akan tetapi, pendidikan yang diindustrikan mestinya tidak sekadar menjadi instrumen bagi dunia industri untuk membangun manusia. Ia mestinya memiliki nilai tawar, bukan sekadar pencetak calon tenaga kerja. Ia mestinya lebih punya kewibawaan, bukan sekadar jadi mandornya industri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun