Pekalongan dalam beberapa tahun terakhir tampak menggeliat. Ada banyak pilihan tema dan topik diskusi yang ditawarkan. Salah satu tema yang menurut saya menarik adalah tentang kesejarahan.
Ruang-ruang diskusi di KotaAdalah sebuah komunitas kecil (Komunitas Omah Sinau SOGAN) yang bermarkas di Kelurahan Kuripan Lor (sekarang Kuripan-Yosorejo), diskusi tentang sejarah itu mulai digelar. Tepatnya, sejak Maret 2016. Mula-mula Sinau Sejarah---demikian forum diskusi itu dinamai---dilangsungkan dalam forum kecil. Selain karena jumlah orang yang terlibat terbatas, ruang yang tersedia juga tidak terlalu luas.
Kendati demikian, keterbatasan itu tidak menyurutkan jalannya diskusi yang rutin dilakukan. Malahan, gaung diskusi itu merembet ke segala arah dan segala lini. Peserta diskusi dari waktu ke waktu makin bertambah. Mereka datang dari berbagai wilayah.
Rembetan gaung diskusi ini pun tak pelak memunculkan sejumlah tokoh penting dalam kajian sejarah lokal. Sebut saja beberapa nama seperti Edy van Keling, Arief Dirhamzah, Agus Sulistyo, Muhammad Ifyani, Anis Rosidi, Abdul Kharis, Gus Mansur, dan lain-lain. Nama-nama itulah yang pada perjalanan berikutnya menjadi para pemelihara ingatan masa lalu. Mereka begitu intens memanfaatkan waktu berdiskusi tentang kesejarahan lokal demikian besar. Begitu pula dengan dedikasi mereka untuk menyebarkan gagasan-gagasan tentang kajian kesejarahan lokal.
Intensitas mereka pada gilirannya menjadi gelombang besar di Kota Pekalongan dan sekitarnya. Seolah memiliki daya magnet yang kuat, beberapa pihak lain pun tak ingin ketinggalan ikut merayakan gagasan mereka. Sampai-sampai ruang diskusi pun diperluas. Tidak hanya teruangkan dalam komunitas kecil tersebut, melainkan pula dialirkan ke berbagai ruang lain yang belum terisi dengan diskusi-diskusi serupa.
Sejak itu, terbukalah peluang untuk mendirikan panggung-panggung diskusi di berbagai kawasan. Di sejumlah desa atau kelurahan, diskusi itu berkali-kali digelar. Demikian pula di kampus-kampus dan sekolah-sekolah yang ada di Pekalongan. Bahkan, sempat pula forum diskusi tersebut mengisi kekosongan ruang di kedai-kedai kopi.
Itu terjadi setelah ruang diskusi kecil Sinau Sejarah mampu melahirkan karya monumental dari setiap pembahasan yang telah dilakukan. Yaitu, dua buku yang bertajuk "Bahurekso; Menyingkap Tabir Legenda Tiga Kota" yang ditulis Agus Sulistyo dan "Babad Kabupaten Pekalongan" yang disusun oleh tim yang beranggotakan Edy van Keling, Arief Dirhamzah, Agus Sulistyo, M. Ifyani, Abdul Kharis, Anis Rosidi, dan Rizqy Robbani.
Buku pertama yang ditulis Agus Sulistyo, sempat menyedot perhatian besar dari masyarakat Pekalongan. Saat itu, peluncuran buku tersebut sempat digelar dalam agenda akbar bertajuk Ngaji Sejarah "Menyingkap Tabir Sang Legenda, Bahureksa". Acara itu dihadiri sekitar 500 orang. Diselenggarakan di Gedung Aswaja pada tanggal 13 November 2016 yang juga menghadirkan sejarawan nasional, mendiang K.H. Ng. Agus Sunyoto yang waktu itu masih menjabat sebagai Ketua LESBUMI pusat.
Seperti diketahui, nama Bahureksa menjadi legenda bagi sejumlah kawasan pesisir utara Jawa. Tak pelak, ketika acara itu digelar, orang dari berbagai daerah---khususnya pesisir utara Jawa---turut hadir. Rasa keingintahuan mereka menjadi dorongan kuat hingga memaksa mereka hadir dalam perhelatan akbar itu.
Sejak itu, nama legenda Bahureksa mencuat ke permukaan. Nama itu terus dibahas dan dikaji dalam forum-forum diskusi yang diselenggarakan oleh berbagai pihak. Terlebih, nama Bahureksa begitu kuat mengakar dalam sejarah kebudayaan masyarakat pesisir utara Jawa. Berbagai macam cerita rakyat di kawasan ini pun kerap menyangkutkan nama Bahureksa. Bahkan, terlembaga pula ke dalam mitos-mitos.
Tak pelak, hal tersebut membuat Agus Sulistyo yang jebolan fakultas kedokteran itu harus makin mendalami ketokohan Bahureksa. Agus Sulistyo yang notabene orang Solo itu lantas berusaha keras menyelami berbagai kisah yang meliputi ketokohan Bahureksa.