Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nyekolahin Anak atau Nyekolahin Orang Tua?

14 Juni 2023   18:15 Diperbarui: 14 Juni 2023   18:17 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivitas belajar bersama di PKBM Sokola Sogan (dok.pribadi)

Setiap memasuki tahun ajaran baru, istri saya kerap mengalami kepanikan. Terutama, ketika harus berhadapan dengan penerimaan siswa baru alias PPDB. Dia selalu ingin agar anaknya yang akan lulus sekolah dapat melanjutkan ke sekolah favorit. Alasannya, sekolah favorit itu bergengsi. Bisa jadi kebanggaan bagi orang tua, katanya.

Mendengar alasan itu saya malah mikir. Sebenarnya, yang sekolah itu anak atau orang tua? Sebenarnya, tujuan nyekolahin anak itu apa? Jangan-jangan nyekolahin anak bagi orang tua itu tujuannya cuma pingin gengsi-gengsian. Supaya kalau pas ketemu teman sesama orang tua bisa bercerita kalau anaknya diterima di sekolah favorit. Padahal, sebutan sekolah favorit sebenarnya sudah tidak lagi berlaku. Apalagi setelah diberlakukannya sistem zonasi.

Dari situlah diskusi pun berlangsung antara saya dan istri. Kepada istri, saya sampaikan, bahwa yang perlu diperhatikan dan dilatihkan kepada anak adalah menyiapkan mentalnya. Seperti kata kawan saya yang seorang psikolog, Harap Cendekia atau mas Decky, perkembangan mental anak kadang atau bahkan lebih sering tidak seiring sejalan dengan usia anak.

Misal, anak usia 8 tahun yang mestinya sudah bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan di rumah eh masih minta bantuan dan sangat bergantung pada bantuan orang tua. Kalau mau ke kamar mandi masih minta diantar dan ditungguin. Perilaku itu, menurut mas Decky, menunjukkan bahwa anak mengalami kelambanan perkembangan mental.

Kondisi itu, kalau dibiarkan justru akan membuat mental anak tidak terlatih. Ia akan cenderung menjadi anak yang kurang mandiri dan ciut nyali dalam menghadapi apa saja yang dialaminya. Bahayanya, kalau keadaan itu menjadi kebiasaan yang berlanjut hingga dewasa. Maka, bisa dipastikan ia akan tumbuh sebagai seseorang yang lemah dan tidak bisa fight dalam menyikapi segala hal.

Istriku sebentar menyela. Ia katakan, jika keinginannya agar anak kami diterima di sekolah favorit juga dalam rangka melatih mental anak sebagai seorang petarung. Ia sebentar mengenang masa lalunya ketika bersekolah di sekolah-sekolah favorit kala itu.

Konon, selama mengalami masa pendidikan di sekolah-sekolah favorit itu ia mesti berkompetisi dengan kawan-kawannya untuk menjadi murid terbaik dengan nilai tinggi. Apalagi ia berasal dari desa yang jauh dari keriuhan kota. Tentu, rasanya ingin sekali menundukkan kawan-kawan lainnya yang berasal dari kota. Terutama, dari aspek akademisnya.

Saya tak menampik pandangan yang ia sampaikan. Apa yang dialaminya sebenarnya tak jauh beda dengan apa yang saya alami waktu masih sekolah. SMP saya, dulu tergolong sekolah favorit. Begitu juga SMA saya. Tetapi, saya tak terlalu mendewakan sekolah saya yang dulu. Bukan tak mencintai almamater. Yang ingin saya katakan, kecerdasan akademik sebenarnya tidak menjamin seseorang dapat menjalani hidup dengan lebih baik.

Ada kecerdasan lain yang perlu dilatihkan sejak dini. Yaitu, kecerdasan emosional dan kecerdasan mental. Kedua jenis kecerdasan ini perlu dibekalkan kepada anak-anak supaya mereka jauh lebih siap menghadapi apapun yang akan mereka alami di kemudian hari. Tujuannya, agar mereka dapat mengenali diri sendiri, membaca potensi yang ada di dalam dirinya, dan mampu mengatur strategi untuk mengembangkan diri. Bukan menjadi pribadi yang sepanjang hayatnya harus diatur oleh kemauan orang tua.

Ilmu pengetahuan yang diterima di sekolah hanyalah alat atau sarana agar ia mampu mengenali dirinya sendiri. Jadi, orientasi bersekolah bukan lagi untuk meraih nilai tertinggi pada mata pelajaran. Akan tetapi, dengan berbagai macam pelajaran yang ia terima itu, ia mengerti siapa dirinya dan mampu mengambil sikap. Nah, kemampuan mengambil sikap inilah yang memerlukan kecerdasan mental serta kecerdasan emosional. Selain itu, ada pula kecerdasan spiritual.

Pikir saya, saat berdiskusi dengan istri, anak-anak perlu dilatih agar mampu menentukan tujuan hidupnya. Bukan sekadar menjadi orang yang memiliki predikat-predikat tertentu. Sebab, predikat-predikat itu pun sebatas sarana. Bukan tujuan.

Sebagai misal, seorang guru mesti memahami bahwa tugasnya sebagai pendidik adalah sarana baginya untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya. Bukan sekadar mencari nafkah atau sebatas mendapatkan sertifikasi. Guru tak sekadar membuat muridnya pintar, melainkan pula mesti membuat murid-muridnya terdidik. Menjadikan mereka sebagai pribadi yang ideal. Dengan kata lain, tugas guru tak jauh beda dengan orang tua di rumah.

Maka, pekerjaan orang tua mestinya bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk mendidik anak-anak mereka. Sayang, di negeri ini agaknya sulit mewujudkan kondisi ideal sebuah keluarga. Orang tua masih sibuk dengan pekerjaannya dan menganggap pekerjaan mereka adalah segala-galanya. Tanpa pekerjaan itu, mereka dihantui kekhawatiran akan kehidupan yang serba tidak menguntungkan. Bahkan, pada tahap selajutnya, orang tua cenderung mengejar hal-hal yang mereka sebut sebagai prestise.

Memang, begitu kompleks masalah yang dihadapi orang tua. Sehingga tidak bisa begitu saja saya menyalahkan mereka yang menyerahkan sepenuhnya nasib anak-anak mereka kepada sekolah. Seolah-olah, sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang bisa menyulap anak-anak mereka menjadi pribadi yang sesuai dengan impian mereka. Padahal, lembaga pendidikan paling inti itu ada di keluarga.

Masalah ekonomi kadang masih membayang-bayangi kehidupan keluarga. Masalah ekonomi masih menjadi monster yang menyeramkan. Mengapa bisa begitu? Mungkin saja karena sudah hilang rasa kebersamaan di antara sesama keluarga di dalam sebuah kampung. Masyarakat telah memilih hidup dalam pacuan. Memilih menjadi saling berlomba-lomba untuk meraih gengsi, tetapi lupa untuk berbagi. Mungkin, ini juga sebuah akibat dari cara mereka menjalankan pekerjaan mereka yang cenderung berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik tanpa peduli kawan sekerja. Bahkan, kadang bisa saja sampai menjatuhkan kawan sekerja.

Tak heran, jika waktu mereka habis untuk berlari di atas lintasan pacuan. Sementara, anak-anak mereka menyaksikan mereka berlari sambil bersorak-sorai. Agar orang tua mereka menjadi pemenang. Karena kalau orang tua mereka menang, mereka bisa meminta apa saja dari hasil kemenangan itu. Ah, ngeri rasanya.

Di ujung diskusi, istri saya lantas mulai menginsyafi. Betapa kekerasan hidup yang kami alami sebenarnya hanya sebuah batu uji untuk menemukan kembali keteguhan hati. Bukan kemudian harus berusaha keras menghancurkan kekerasan itu. Sebaliknya, mesti disikapi dengan cara-cara elegan dan terhormat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun