Sebagai misal, seorang guru mesti memahami bahwa tugasnya sebagai pendidik adalah sarana baginya untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya. Bukan sekadar mencari nafkah atau sebatas mendapatkan sertifikasi. Guru tak sekadar membuat muridnya pintar, melainkan pula mesti membuat murid-muridnya terdidik. Menjadikan mereka sebagai pribadi yang ideal. Dengan kata lain, tugas guru tak jauh beda dengan orang tua di rumah.
Maka, pekerjaan orang tua mestinya bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk mendidik anak-anak mereka. Sayang, di negeri ini agaknya sulit mewujudkan kondisi ideal sebuah keluarga. Orang tua masih sibuk dengan pekerjaannya dan menganggap pekerjaan mereka adalah segala-galanya. Tanpa pekerjaan itu, mereka dihantui kekhawatiran akan kehidupan yang serba tidak menguntungkan. Bahkan, pada tahap selajutnya, orang tua cenderung mengejar hal-hal yang mereka sebut sebagai prestise.
Memang, begitu kompleks masalah yang dihadapi orang tua. Sehingga tidak bisa begitu saja saya menyalahkan mereka yang menyerahkan sepenuhnya nasib anak-anak mereka kepada sekolah. Seolah-olah, sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang bisa menyulap anak-anak mereka menjadi pribadi yang sesuai dengan impian mereka. Padahal, lembaga pendidikan paling inti itu ada di keluarga.
Masalah ekonomi kadang masih membayang-bayangi kehidupan keluarga. Masalah ekonomi masih menjadi monster yang menyeramkan. Mengapa bisa begitu? Mungkin saja karena sudah hilang rasa kebersamaan di antara sesama keluarga di dalam sebuah kampung. Masyarakat telah memilih hidup dalam pacuan. Memilih menjadi saling berlomba-lomba untuk meraih gengsi, tetapi lupa untuk berbagi. Mungkin, ini juga sebuah akibat dari cara mereka menjalankan pekerjaan mereka yang cenderung berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik tanpa peduli kawan sekerja. Bahkan, kadang bisa saja sampai menjatuhkan kawan sekerja.
Tak heran, jika waktu mereka habis untuk berlari di atas lintasan pacuan. Sementara, anak-anak mereka menyaksikan mereka berlari sambil bersorak-sorai. Agar orang tua mereka menjadi pemenang. Karena kalau orang tua mereka menang, mereka bisa meminta apa saja dari hasil kemenangan itu. Ah, ngeri rasanya.
Di ujung diskusi, istri saya lantas mulai menginsyafi. Betapa kekerasan hidup yang kami alami sebenarnya hanya sebuah batu uji untuk menemukan kembali keteguhan hati. Bukan kemudian harus berusaha keras menghancurkan kekerasan itu. Sebaliknya, mesti disikapi dengan cara-cara elegan dan terhormat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI