Tetapi, pagi itu ada yang tidak biasa. Di teras rumah, sambil membaca koran, Dulmangap yang ditemani Dulkenyot mendadak uring-uringan. Semua hanya gara-gara sebuah iklan lowongan kerja. Orang-orang di rumah, seperti ibunya mesti memanjangkan usus, membentangkan hatinya supaya lebih luas lagi, dan memulurkan pikirannya. Karena tahu, percuma saja mengomentari kata-kata Dulmangap.
“Bener-bener nggak Pancasilais nih iklan!” gerutunya, “Masa, lowongan kerja kok ada syarat wajib berpenampilan menarik bagi pelamar. Kan nggak berperikemanusiaan dan berkeadilan kalau gini! Apapun dan bagaimanapun penampilan setiap orang itu kan Tuhan yang menciptakan. Lha kalau sudah ada syarat beginian, apa nggak kuwalat sama Tuhan? Apa nggak melecehkan Tuhan namanya?”
Dulkenyot, teman karib Dulmangap sejak mereka masih sama-sama suka mainan air di halaman rumah saat musim penghujan, hanya melempar senyuman kepada Dulmangap. Ia membiarkan temannya itu melanjutkan ocehannya.
“Coba kamu baca. Ini nih!” ucap Dulmangap sambil menyodorkan koran di tangannya kepada Dulkenyot. Lalu, sambil menunjuk-nunjuk kertas koran itu, Dulmangap tak henti-henti nyerocos, “Nah kan, ada to syarat berpenampilan menarik? Terus ini nih, diutamakan yang berpenampilan menarik. Ya kan?”
Dulmangap lantas kembali pada posisi duduknya yang semula. Masih ngedumel juga.
Sementara, Dulkenyot tampak mulai kehabisan kesabaran. Mungkin, karena bekal kesabarannya sudah pada titik limit. Mungkin juga, sebelum mampir ke rumah teman karibnya itu ia lupa mengantongi kuota kesabarannya untuk persediaan. Akhirnya, ia pun angkat bicara.
“Kenapa sih, Kang? Kok ujug-ujug sampean gusar gitu? Ini kan cuman iklan,” kata Dulkenyot.
“Cuma iklan? Cuma iklan sampean bilang? Ini masalah serius, Dul. Negara kita ini negara Pancasila. Nggak boleh ada diskriminasi. Nggak boleh ada perilaku yang menyudutkan apalagi merendahkan siapapun. Dan itu ada aturannya, Dul! Ini bisa loh kena somasi!” tukas Dulmangap yang jebolan Fakultas Hukum.
Dulkenyot manggut-manggut. Tatapannya tampak bingung menyikapi ekspresi yang ditunjukkan Dulmangap. Ia pikir, Dulmangap tidak akan seserius itu menyikapi kata-katanya. Lalu, ia berusaha meredakan emosi Dulmangap dengan berkata, “Ya, yang namanya nyari kerja itu kan soal keberuntungan, Kang. Kalau sampean ada niat untuk melamar di situ, kenapa tidak dicoba saja?”
“Tapi persyaratan ini membuat keberuntungan itu dibatasi, Dul! Paham?” ucap Dulmangap ketus. “Ini nggak fair!”
“Sampean itu lho, terlalu merumitkan sesuatu yang sebenarnya sederhana, Kang. Menurutku, justru dengan persyaratan itu perusahaan sedang melakukan seleksi dengan cara yang fair. Perusahaan itu jujur,” celatuk Dulkenyot.