Kesenian Kajen yang sepi. Kami yang duduk menunggu hujan reda agaknya harus mengulur waktu dan mengolah obrolan menjadi penangkal kebosanan yang bisa saja menyergap tanpa kami sadari. Apalagi, saat itu jalanan mulai tampak lengang. Orang-orang enggan berlalu lintas. Jalan basah dan licin.
Warung kopi itu bertengger di atas trotoar, tepat di depan GedungAdalah Pakdhe Joko Heru, senior saya dalam berkesenian, yang memulai obrolan itu. Mula-mula sekadar obrolan biasa; obrolan jalanan. Namun, makin lama obrolan itu makin menemukan bentuknya yang lumayan bikin dahi berkerut. Terutama, ketika Pakdhe Joko mengajukan sebuah topik tentang seni.
Waktu itu, Pakdhe Joko mula-mula mengungkapkan keprihatinannya tentang dunia kesenian di daerah. Lebih khusus lagi di Kabupaten Pekalongan. Dalam pandangannya, kehidupan kesenian di masyarakat---khususnya di kalangan elite pemerintahan---masih saja dipandang sebelah mata. Oleh sebagian besar kelompok elite pemerintahan, seni dianggap sebagai sesuatu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak penting. Utamanya, bagi usaha mereka di dalam merancang program-program pembangunan di daerah. Bahkan, ada pula yang menganggap kesenian sebagai proyek buang-buang duit APBD. Proyek yang mubazir.
Kegelisahan semacam itu sebenarnya kerap pula saya dengar dari banyak orang. Pandangan yang diprihatinkan Pakdhe Joko juga tak jarang saya temui. Bahkan, di kalangan para cerdik cendekia pun ada yang berpandangan semacam itu. Bagi saya, kelompok cerdik cendekia yang memiliki pandangan semacam itu jauh lebih memrihatinkan. Terlebih apabila saya mengingat kembali buku-buku yang pernah saya baca dari tulisan para intelektual.
Sebut saja salah satunya, Koentjaraningrat. Dalam buku pengantar kuliahnya tentang antropologi, ia menyebutkan bahwa seni merupakan salah satu sendi yang sama pentingnya bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban. Seni memiliki kedudukan yang sederajat dengan sistem sosial (yang didalamnya meliputi politik), ekonomi, teknologi, bahasa, sistem kepercayaan, dan sistem pengetahuan. Mengapa demikian? Karena seni merupakan bentuk ekspresif masyarakat di dalam menyampaikan pikiran mereka tentang kehidupan. Di dalamnya terkandung nuansa gagasan tentang kehidupan yang ideal serta kenyataan yang mereka hadapi, yang tak jarang bertentangan satu sama lain. Antara harapan dan kenyataan tak berbanding lurus, tak sejalan. Maka tak jarang pula seni kerap melontarkan kritik tajam dan mendalam mengenai kehidupan yang berlaku. Atau sekurang-kurangnya, seni dapat dijadikan sebagai bahan refleksi tentang tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai secara bersama-sama.
Jika demikian, tidaklah meleset pandangan yang diajukan Horatius, penyair kenamaan di masa Kekaisaran Romawi. Seni, menurut penyair yang dikenal bijaksana itu, memiliki dua aspek sekaligus. Yaitu, apa yang disebut "dulce et utile", memberi kesenangan dan berguna. Dengan pandangan itu, dunia seni tidak sekadar menjadi sarana menghibur atau semacam pelipur lara, akan tetapi juga sangat berguna bagi perkembangan zaman.
Sayang, menurut Pakdhe Joko, gagasan-gagasan besar itu agaknya makin hari makin tergerus. Kesenian, khususnya di daerah tempat beliau hidup saat ini, sekadar diposisikan sebagai panggung hiburan, pengisi ruang kosong. Hal yang sangat membuatnya prihatin.
Pemosisian seni sekadar sebagai hiburan, menurut Pakdhe Joko, justru bertendensi buruk bagi kelangsungan hidup kesenian itu sendiri. Posisi seni akan semakin terpinggirkan dan dianggap sebagai perihal yang remeh. Akibatnya, kedudukan seniman, pelaku seni, penggiat seni, atau apapun yang berkenaan dengan seni tak lagi diperhitungkan.
Padahal, jika saja para penggede daerah mau mengintip dari salah satu celah dinding yang disediakan oleh sejarah, mereka akan menemukan sebuah peristiwa yang sungguh di luar dugaan mereka. Seni memiliki peran besar bagi upaya penentuan arah kebijakan politik. Sebagaimana dulu, ketika Plato dibikin berang oleh ulah Homer yang menulis syair-syair panjang tentang Iliad dan Odyssey. Homer dengan sengaja mengejek konsep paganisme yang kala itu menjadi keyakinan masyarakat Yunani Kuno. Ia gambarkan dewa-dewa Yunani sebagai dewa-dewa yang penuh ambisi; pribadi yang belum tuntas dengan dirinya sendiri. Sehingga, dalam mitologi Yunani Kuno kerap dijumpai pertikaian di antara para dewa. Hal itu kemudian dipertanyakan Homer, jika para dewa sibuk dengan urusan mereka sendiri, lalu untuk apa manusia melakukan persembahan kepada mereka?
Kritik yang lebih menggelitik adalah ketika Homer juga mempertanyakan eksistensi dewa-dewa. Ia nyatakan, seandainya binatang dianugerahi kemampuan yang sama persis dengan manusia---menggambarkan imajinasi mereka tentang dewa-dewa---maka bukan tidak mungkin dewa-dewa itu akan mereka gambar atau mereka patungkan seperti wujud mereka, sebagaimana yang telah dilakukan oleh bangsa manusia.
Saking berangnya, Plato pun menganjurkan agar negara mengambil sikap atas karya Homer. Ia meminta agar negara membakar habis seluruh karya Homer. Alasannya, karya Homer dikhawatirkan akan membuat keyakinan masyarakat goyah sehingga tidak lagi patuh pada negara. Sebagai negarawan, Plato memang memiliki peran vital bagi pengambilan kebijakan. Akan tetapi, cara yang dilakukan Plato secara tidak langsung dinilai ceroboh oleh muridnya sendiri, Aristoteles. Hal itu yang kemudian membuat Aristoteles mengajukan gagasan baru tentang seni.
Peristiwa itu semestinya membuka mata kita. Bahwa kedudukan seni bagi perkembangan dunia pemikiran sangatlah vital. Bahkan, mampu memberi pengaruh besar bagi perubahan arah kebijakan politik dan pembangunan. Lebih-lebih bagi negara sebesar Indonesia.
Seperti yang dikatakan Pakdhe Joko, bahwa dahulu dunia seni sangat berperan besar bagi penentuan arah nasib bangsa Indonesia kala itu. Dulu, lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok seni begitu getol menyampaikan pendapat mereka tentang kondisi ideal kebudayaan Indonesia. Mereka tak sungkan-sungkan menggelar perdebatan yang terbuka mengenai gagasan mereka tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi bangsa Indonesia. Rumusan-rumusan yang mereka kemukakan terus diuji tanpa henti, sebab mereka sadar bahwa kebudayaan itu dinamis. Apalagi di tengah-tengah isu-isu globalisasi yang kian menantang.
Sebagaimana dalam sastra, pertikaian ide di antara individu, kelompok, bahkan lintas generasi---saya kira---menjadi patut untuk terus dibaca ulang. Kemunculan angkatan Balai Pustaka yang terlalu disetir oleh kekuasaan Kolonial Hindia-Belanda dilawan oleh kelompok yang tak sudi berkompromi dengan penguasa penjajah. Lalu, di episode berikutnya, muncul kelompok baru yang menamai diri sebagai Pujangga Baru. Kelompok ini menawarkan gagasan segar mengenai emansipasi dan keterlibatan langsung kaum pribumi di dalam pembangunan. Tentu saja, kelompok ini pun mendapatkan pertentangan yang tidak kalah seru dari kelompok lawannya.
Perseteruan pemikiran mereka masih berlanjut. Hingga melahirkan angkatan '45 yang ketika itu menjadi tonggak dari sebuah upaya perumusan jati diri sebuah bangsa. Meski begitu, kemunculan angkatan ini juga memicu perdebatan alot mengenai gagasan tentang humanisme universal melawan nasionalisme.
Sementara, di era berikutnya muncullah gagasan mengenai realisme sosialis sebagai antitesis dari nasionalisme yang kala itu dipandang klise oleh kelompok pengusung realisme sosialis. Sekalipun demikian, kelompok ini sendiri pun kemudian pecah. Terbelah ke dalam dua kelompok pemikiran, antara seni sebagai propaganda politik ideologis melawan seni sebagai penyampai suara rakyat. Bahkan, pada puncaknya, gagasan-gagasan itu diperkaya dengan kemunculan kelompok-kelompok baru yang memosisikan diri sebagai bagian dari "pendukung" kekuasaan negara.
Pertikaian antara Lekra melawan Manikebu kala itu mungkin menjadi puncak paling dahsyat. Karena di antara kedua kelompok itu telah memunculkan garis pembatas yang demikian tebal. Belum lagi kelahiran kelompok Lesbumi yang menyusul kemudian. Makin ramai pula pertentangan pemikiran itu, hingga akhirnya memunculkan kekuasaan baru bernama Orde Baru.
Selama 32 tahun, orde ini berhasil menaklukkan perang dingin ide-ide itu. Sampai-sampai, ia berhasil mengukuhkan tafsir tunggal atas apapun yang berkenaan dengan kedudukan kekuasaan dan negara.
Lambat laun, tafsir tunggal ala penguasa Orde Baru ini mulai mengikis peran kesenian di daerah-daerah. Nuansa traumatik yang dibangun telah berhasil membungkam dan mengubur pemikiran-pemikiran yang mestinya terbebas dari cengkeraman kekuasaan. Bahkan, untuk sekadar bersuara, para sastrawan khususnya, memilih mencari jalan lain yang disampaikan secara samar-samar lewat karya-karya mereka, sebagaimana yang terbaca dalam tulisan Aprinus Salam, "Dari Sastra Kompromisme Ke Sastra Heroisme".
Panjang Pakdhe Joko menyampaikan keluh kesahnya. Di bawah rintik hujan, sembari menyeruput kopi, ia sampaikan harapannya agar seni perlu dibangkitkan. Bukan sekadar sebagai teman bagi kesepian. Akan tetapi, ia harus tampil sebagai katalisator bagi perubahan-perubahan yang kini berjalan begitu cepatnya.
Ia melihat, beberapa seniman di Pekalongan sebenarnya telah melakukan hal itu. Hanya, daya dukungnya yang masih jauh dari maksimal. Ia berharap, di kemudian hari, semua orang akan mengerti apa itu seni dan bagaimana seni memiliki peran bagi pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H