Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa Kabar Kesenian di Kabupaten Pekalongan?

2 Juni 2023   18:01 Diperbarui: 2 Juni 2023   18:14 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan wayang kulit di Desa Dororejo, Kec. Doro, Kab. Pekalongan (dok.pribadi)

Peristiwa itu semestinya membuka mata kita. Bahwa kedudukan seni bagi perkembangan dunia pemikiran sangatlah vital. Bahkan, mampu memberi pengaruh besar bagi perubahan arah kebijakan politik dan pembangunan. Lebih-lebih bagi negara sebesar Indonesia.

Seperti yang dikatakan Pakdhe Joko, bahwa dahulu dunia seni sangat berperan besar bagi penentuan arah nasib bangsa Indonesia kala itu. Dulu, lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok seni begitu getol menyampaikan pendapat mereka tentang kondisi ideal kebudayaan Indonesia. Mereka tak sungkan-sungkan menggelar perdebatan yang terbuka mengenai gagasan mereka tentang apa dan bagaimana seharusnya menjadi bangsa Indonesia. Rumusan-rumusan yang mereka kemukakan terus diuji tanpa henti, sebab mereka sadar bahwa kebudayaan itu dinamis. Apalagi di tengah-tengah isu-isu globalisasi yang kian menantang.

Sebagaimana dalam sastra, pertikaian ide di antara individu, kelompok, bahkan lintas generasi---saya kira---menjadi patut untuk terus dibaca ulang. Kemunculan angkatan Balai Pustaka yang terlalu disetir oleh kekuasaan Kolonial Hindia-Belanda dilawan oleh kelompok yang tak sudi berkompromi dengan penguasa penjajah. Lalu, di episode berikutnya, muncul kelompok baru yang menamai diri sebagai Pujangga Baru. Kelompok ini menawarkan gagasan segar mengenai emansipasi dan keterlibatan langsung kaum pribumi di dalam pembangunan. Tentu saja, kelompok ini pun mendapatkan pertentangan yang tidak kalah seru dari kelompok lawannya.

Perseteruan pemikiran mereka masih berlanjut. Hingga melahirkan angkatan '45 yang ketika itu menjadi tonggak dari sebuah upaya perumusan jati diri sebuah bangsa. Meski begitu, kemunculan angkatan ini juga memicu perdebatan alot mengenai gagasan tentang humanisme universal melawan nasionalisme.

Sementara, di era berikutnya muncullah gagasan mengenai realisme sosialis sebagai antitesis dari nasionalisme yang kala itu dipandang klise oleh kelompok pengusung realisme sosialis. Sekalipun demikian, kelompok ini sendiri pun kemudian pecah. Terbelah ke dalam dua kelompok pemikiran, antara seni sebagai propaganda politik ideologis melawan seni sebagai penyampai suara rakyat. Bahkan, pada puncaknya, gagasan-gagasan itu diperkaya dengan kemunculan kelompok-kelompok baru yang memosisikan diri sebagai bagian dari "pendukung" kekuasaan negara.

Pertikaian antara Lekra melawan Manikebu kala itu mungkin menjadi puncak paling dahsyat. Karena di antara kedua kelompok itu telah memunculkan garis pembatas yang demikian tebal. Belum lagi kelahiran kelompok Lesbumi yang menyusul kemudian. Makin ramai pula pertentangan pemikiran itu, hingga akhirnya memunculkan kekuasaan baru bernama Orde Baru.

Selama 32 tahun, orde ini berhasil menaklukkan perang dingin ide-ide itu. Sampai-sampai, ia berhasil mengukuhkan tafsir tunggal atas apapun yang berkenaan dengan kedudukan kekuasaan dan negara.

Lambat laun, tafsir tunggal ala penguasa Orde Baru ini mulai mengikis peran kesenian di daerah-daerah. Nuansa traumatik yang dibangun telah berhasil membungkam dan mengubur pemikiran-pemikiran yang mestinya terbebas dari cengkeraman kekuasaan. Bahkan, untuk sekadar bersuara, para sastrawan khususnya, memilih mencari jalan lain yang disampaikan secara samar-samar lewat karya-karya mereka, sebagaimana yang terbaca dalam tulisan Aprinus Salam, "Dari Sastra Kompromisme Ke Sastra Heroisme".

Panjang Pakdhe Joko menyampaikan keluh kesahnya. Di bawah rintik hujan, sembari menyeruput kopi, ia sampaikan harapannya agar seni perlu dibangkitkan. Bukan sekadar sebagai teman bagi kesepian. Akan tetapi, ia harus tampil sebagai katalisator bagi perubahan-perubahan yang kini berjalan begitu cepatnya.

Ia melihat, beberapa seniman di Pekalongan sebenarnya telah melakukan hal itu. Hanya, daya dukungnya yang masih jauh dari maksimal. Ia berharap, di kemudian hari, semua orang akan mengerti apa itu seni dan bagaimana seni memiliki peran bagi pembangunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun