Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berburu Menu Sastra di Kafe-kafe Pekalongan

21 April 2023   22:58 Diperbarui: 21 April 2023   23:08 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbincangan saya dengan salah seorang teman akhirnya mencapai kulminasi yang serba tanggung. Dipaksakan. Atau mungkin terpaksa. Tersebab, ketidaknyambungan yang---menurut saya---terlalu jauh. Rekan bincang saya yang seorang akademisi, pandangannya tentang gairah gerak sastra pada anak-anak muda masa kini di Pekalongan masih terselimuti oleh kabut tebal. Yang ia tahu, ya sebatas apa yang ada di dekatnya; kampus!

Di kesempatan lain, di sebuah warung kopi di kawasan Klego, saya menangkap pemandangan yang sama sekali berbeda. Rupanya, tak sedikit anak-anak muda yang tongkrongan di sana menggemari sastra. Diskusi mereka seru. Pandangan-pandangan yang liar berseliweran. Ada yang sepertinya filosofis, ada juga yang datar-datar saja.

Keseruan itu dihebohkan dengan kelakar-kelakar yang "nakal". Membuat diskusi itu riang gembira. Ditambah ada soda gembiranya! Makin tersodagembirariangkanlah diskusi malam itu.

Lewat dua peristiwa itu, saya dipaksa mikir. Mungkin benar, selama ini ada dinding pelapis yang menjarak kehidupan sastra di kampus dengan sastra di kampung. Kampus dikesankan elegan dan eksklusif. Kampung dikesankan pinggiran dan "norak". Tak heran jika sebagian dari masyarakat sastra kampus---khususnya para pakar sastra---cenderung menghindari kehidupan sastra kampung.

Mungkin takut tertular penyakit "norak". Mungkin loh ya! Mungkin juga nggak tahu ada sastra kampung. Atau, mungkin karena sudah terlalu capek. Kerja seharian di kampus. Pagi berangkat, sore pulang. Sisa tenaga cukup dihadirkan untuk keperluan rumah. Bisa juga ketika di kampung, orang-orang kampusan ini nggak mau bicara soal sastra. Takut kalau dianggap keminter, minteri, atau apalah. Saya nggak tahu, mana kemungkinan yang paling pas.

Padahal, kalau mereka mau luangkan waktu nongkrong dan menyimak obrolan-obrolan pegiat sastra kampung, mereka akan mendapatkan kenikmatan tersendiri. Mereka juga akan menyaksikan, sekalipun ada dinding pemisah, rupanya masih ada irisan-irisan yang mempertemukan dua arus gerak sastra itu. Beberapa pegiat sastra kampung ini ada yang berprofesi sebagai mahasiswa (sesuai dalam kolom pekerjaan di KTP).

Jadi, tidak melulu anggapan "norak" itu benar. Besar kemungkinan kelirunya timbang benarnya. Tetapi, dinding pelapis itu kadung semakin tebal saja rasanya. Ah!

Lantas, apa sih yang didiskusikan? Ada hal seru. Menyoal dinding pelapis itu. Menurut salah seorang dari mereka, dinding pelapis itu membuat kesan ada hierarki. Ia memandang, selama ini sastra hanya menjadi milik orang-orang sekolahan. Sedang orang kampung, meski gairah bersastra mereka ada dan tumbuh, dianggap tidak ada. Dunia sastra kampung seperti dikesampingkan. Tak tersentuh tangan dingin para begawan. 

Malah, para begawan yang tinggal di atas menara gading yang retak itu cenderung memilih hidup nyaman di atas singgasananya. Sekalinya turun, eh tak sesuai harapan. Alih-alih membuat pengabdian masyarakat, dibikinlah program-program kepanjangan tangan pemerintah doang. Bukan mengajarkan keilmuannya ke masyarakat.

"Mungkin memang kudu jadi mahasiswa ya, Kang agar bisa belajar tentang sastra?" celatuk lainnya diiringi tawa lepas yang nyaris memecah kaca spion.

Gara-gara pertanyaan itu, saya jadi ingat kata Prof. Faruh HT. Dia katakan dalam diskusi publik yang digelar pada Kongres Kebudayaan tahun 2018 silam, regenerasi sastrawan di negeri ini melalui banyak jalur. Tetapi, jalur pendidikan adalah jalur yang paling memungkinkan.

Mengapa begitu? Di lembaga-lembaga pendidikan formal, sastra diajarkan. Fasilitasnya pun disediakan. Lebih-lebih yang statusnya negeri. Disediakan dan ada alokasi anggarannya. Sedang, yang swasta, agaknya memang harus bekerja ekstra untuk dapat menyediakan fasilitasnya.

Lalu, bagaimana di kampung? Inilah soalnya. Tidak semua kampung punya sanggar. Kalaupun ada, untuk menyediakan fasilitas secara mandiri mesti berjuang mati-matian. Tidak semua kampung punya perpustakaan. Kalaupun ada, perpustakaan kampung sangat terbatas kemampuannya mencukupi kebutuhan para pegiat sastra. Ada perpustakaan daerah, tetapi apakah fasilitasnya memadai? Silakan tengok saja ke gedung perpustakaan.

Penerbit di Pekalongan sendiri juga belum tumbuh subur. Kalaupun ada, masih belum memiliki daya untuk melayani penerbitan buku-buku sastra karya anak kampung. Yang kerap saya lihat, penerbit di Pekalongan sifatnya masih sangat formal. Hanya melayani penerbitan buku kuliah, penelitian dosen, kalau dulu---sebelum ada pelarangan penggunaan LKS---ya LKS-lah yang paling banyak diterbitkan. Mungkin karena laku keras dan keuntungannya lumayan besar.

Benar, sudah ada beberapa nama pengarang sastra di Pekalongan yang berhasil menerbitkan buku. Seperti Aveus Har, Tiqom Tarra, Akar Atya, Purwandi Darsian, dan lainnya. Tetapi, label penerbitnya luar kota. Yang dalam kota sendiri, masih sangat terbatas. Terakhir yang saya tahu, Edy van Keling yang berhasil menerbitkan dua judul novel sejarah Pekalongan.  Sayang, dicetak dalam jumlah yang terbatas dan tak dipajang di rak-rak toko buku.

Saya percaya, selain penerbitan berlabel, ada juga yang menerbitkan secara indie. Beberapa pegiat sastra kampung setengah kampusan, pernah menggelar peluncuran buku antologi puisi di Kandangserang. Tetapi, lagi-lagi, tak cukup bergaung. Setelah peluncuran itu, tak ada pembahasan mengenai karya mereka. Terutama, di kampus yang punya jurusan setengah sastra itu.

Jadi, boleh dikata, anggapan salah seorang pegiat sastra kampung ini benar. Ada jarak yang amat jauh. Meski para pegiat sastra kampung ini sebagian juga anak kampusan. Mungkin karena lantai gedung kampus itu sudah terlalu tinggi. Maka, standarnya barangkali juga ikut meninggi.

Jarak itu juga dibangun oleh pandangan "miring" sebagian kecil orang kampus terhadap pegiat sastra kampung. Ukuran yang digunakan, ukuran langit. Indikatornya kesucian. Maka, begawan-begawan ini tak mau altarnya ternodai oleh kotoran sendal jepit buluk yang penuh dengan lumut dan berlumpur. Bahkan, tak mau ruangan suci mereka terpolusi aroma jalanan. Apalagi kalau tampak wajah-wajah yang dikategorikan oleh mereka sebagai "pemberontak tak berotak". Aaarrrrgghhh!

Begitulah. Obrolan itu terjadi. Sebagai penutup untuk santapan kali ini, izinkan saya menyampaikan salam lebaran untuk saudara-saudara saya yang merayakannya. Mohon maaf atas segala kesalahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun