Mengapa begitu? Di lembaga-lembaga pendidikan formal, sastra diajarkan. Fasilitasnya pun disediakan. Lebih-lebih yang statusnya negeri. Disediakan dan ada alokasi anggarannya. Sedang, yang swasta, agaknya memang harus bekerja ekstra untuk dapat menyediakan fasilitasnya.
Lalu, bagaimana di kampung? Inilah soalnya. Tidak semua kampung punya sanggar. Kalaupun ada, untuk menyediakan fasilitas secara mandiri mesti berjuang mati-matian. Tidak semua kampung punya perpustakaan. Kalaupun ada, perpustakaan kampung sangat terbatas kemampuannya mencukupi kebutuhan para pegiat sastra. Ada perpustakaan daerah, tetapi apakah fasilitasnya memadai? Silakan tengok saja ke gedung perpustakaan.
Penerbit di Pekalongan sendiri juga belum tumbuh subur. Kalaupun ada, masih belum memiliki daya untuk melayani penerbitan buku-buku sastra karya anak kampung. Yang kerap saya lihat, penerbit di Pekalongan sifatnya masih sangat formal. Hanya melayani penerbitan buku kuliah, penelitian dosen, kalau dulu---sebelum ada pelarangan penggunaan LKS---ya LKS-lah yang paling banyak diterbitkan. Mungkin karena laku keras dan keuntungannya lumayan besar.
Benar, sudah ada beberapa nama pengarang sastra di Pekalongan yang berhasil menerbitkan buku. Seperti Aveus Har, Tiqom Tarra, Akar Atya, Purwandi Darsian, dan lainnya. Tetapi, label penerbitnya luar kota. Yang dalam kota sendiri, masih sangat terbatas. Terakhir yang saya tahu, Edy van Keling yang berhasil menerbitkan dua judul novel sejarah Pekalongan. Â Sayang, dicetak dalam jumlah yang terbatas dan tak dipajang di rak-rak toko buku.
Saya percaya, selain penerbitan berlabel, ada juga yang menerbitkan secara indie. Beberapa pegiat sastra kampung setengah kampusan, pernah menggelar peluncuran buku antologi puisi di Kandangserang. Tetapi, lagi-lagi, tak cukup bergaung. Setelah peluncuran itu, tak ada pembahasan mengenai karya mereka. Terutama, di kampus yang punya jurusan setengah sastra itu.
Jadi, boleh dikata, anggapan salah seorang pegiat sastra kampung ini benar. Ada jarak yang amat jauh. Meski para pegiat sastra kampung ini sebagian juga anak kampusan. Mungkin karena lantai gedung kampus itu sudah terlalu tinggi. Maka, standarnya barangkali juga ikut meninggi.
Jarak itu juga dibangun oleh pandangan "miring" sebagian kecil orang kampus terhadap pegiat sastra kampung. Ukuran yang digunakan, ukuran langit. Indikatornya kesucian. Maka, begawan-begawan ini tak mau altarnya ternodai oleh kotoran sendal jepit buluk yang penuh dengan lumut dan berlumpur. Bahkan, tak mau ruangan suci mereka terpolusi aroma jalanan. Apalagi kalau tampak wajah-wajah yang dikategorikan oleh mereka sebagai "pemberontak tak berotak". Aaarrrrgghhh!
Begitulah. Obrolan itu terjadi. Sebagai penutup untuk santapan kali ini, izinkan saya menyampaikan salam lebaran untuk saudara-saudara saya yang merayakannya. Mohon maaf atas segala kesalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H