Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sarang dan Sangkar Burung

21 April 2023   00:26 Diperbarui: 21 April 2023   00:36 2068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: sangkar burung (sumber gambar: kompas.com)

Burung bersarang, itu sudah kodrat alamiah makhluk bersaya ciptaan Tuhan. Ia bebas membangun sarangnya. Bebas pula menentukan penempatannya. Bahkan, ia bebas untuk meninggalkan sarangnya. Terbang, melesat jauh. Mengembara. Suatu waktu ia boleh jadi pulang ke sarangnya. Boleh jadi pula ia tak lagi hinggap di sarang yang pernah ia bangun.

Tetapi manusia---mungkin saking cintanya pada burung, bisa saja membangunkan sangkar untuk burung kesayangannya. Meski begitu, yang namanya sangkar, sekalipun ia menjadi tempat huni burung, sangkar bukanlah tempat hunian alamiahnya. 

Tentu, sangkar tidak membuatnya memiliki kebebasan. Bahkan, mungkin ketika ia terbebas dari sangkar, ia justru kehilangan keahlian alamiahnya. Atau malah menjadi begitu liar karena ia mesti berproses untuk mengenali kembali bakat alamiahnya. Atau juga, malah ia kebingungan, lantaran kehilangan kawanannya karena yang lain punah atau terkandangkan dalam sangkar-sangkar lainnya.

Manusia, jelas bukan burung. Ia tidak mau disamakan dengan burung. Karena manusia bisa berpikir, katanya. Tetapi, bagaimana jika pikiran dipenjarakan oleh berbagai hal? Apakah manusia akan terima?

Jawabnya bisa beragam. Karena lewat pikiran, manusia merasa berhak beranggapan dan berpendapat. Maka, tidak heran jika ada perbedaan-perbedaan di antara manusia.

Tetapi, kadang kala, perbedaan-perbedaan itu ingin sekali diseragamkan. Bukan sekadar disamakan. Melalui penyeragaman itulah kemudian terjadi alienasi atas pandangan yang tidak sama dengan yang memiliki keinginan itu. Tak pelak, yang beda itu diberi cap tertentu dengan istilah-istilah tertentu. Lalu, disisihkan. Bahkan bisa juga "dikandangkan".

Betapa kompleks dunia manusia. Apa saja bisa jadi perkara. Bahkan, mungkin saja status yang saya tulis akan menuai perkara. Tapi, begitulah adanya. Manusia rupanya tersangkarkan oleh perkara. Betapa absurdnya! Oh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun