Curug Genting. Meski baru dua atau tiga kali saya mampir di wisata alam air terjun ini, rasa-rasanya ada kesan mendalam. Selain pemandangannya yang eksotis dengan pemandangan hutan yang mengelilinginya, ada juga hal-hal yang masih misterius bagi saya. Entah sekarang. Pemandangannya, apakah masih seeksotis dulu? Ataukah sudah terlalu banyak sentuhan manusia, hingga membuat kawasan ini menjadi makin ramai dikunjungi wisatawan?
Sudah sangat lama saya tak mampir keMaklum, di era sekarang dunia wisata sedang ramai-ramainya digeliatkan. Sampai-sampai terkadang keasrian alamnya berubah. Tentu, perubahan ini juga berdampak pada keutuhan ekosistem yang turut berubah pula.
Dulu, ketika saya menjejakkan kaki di kawasan air terjun ini pemandangannya masih cukup asri. Belum ada warung-warung berdiri di sekitar curug. Akses jalannya juga masih belum tertata. Jalan aspal yang membelah hutan menuju curug masih rusak lumayan parah.
Tetapi, dengan kondisi semacam itu membuat pemandangan alam Curug Genting masih cukup terjaga. Apalagi saat saya sampai di curug itu tak nampak satu pun sepeda motor terparkir. Jadi, dugaan saya saat itu, Curug Genting belum banyak dikunjungi. Dan itu artinya, udara di Curug Genting masih lumayan segar.
Sesampai di sana, rupanya saya masih harus menuruni anak tangga yang waktu itu belum tertata rapi. Ketinggian tiap anak tangga berbeda-beda, sehingga perlu berhati-hati saat melangkah. Apalagi permukaan pada tiap-tiap anak tangganya basah dan berlumut.
Saya tak sempat menghitung jumlah anak tangga yang saya lalui. Akan tetapi, cukup menguras keringat dan membuat tulang persendian terasa agak linu. Makanya, begitu saya dan kawan-kawan sampai di dasar jurang, kami langsung menuju sungai dan mendekati air terjun.
Sayang, waktu itu belum ada android. Kamera masih jadi barang lumayan mahal. Kalaupun ada yang bawa, tentu masih harus nunggu waktu untuk dicetak. Dan, untuk memiliki foto itu pun masih harus melalui proses lagi. Dicetak lagi disesuaikan dengan jumlah yang diinginkan.
Dan sayangnya lagi, di antara kami tak seorang pun yang membawa kamera. Jadi, tak ada sesi foto-foto di Curug Genting. Saya dan kawan-kawan hanya bisa berlama-lama menikmati betul kesegaran air dan udara Curug Genting.
Tak ketinggalan, kami mengelilingi setiap sisi curug. Mata saya menangkap pemandangan yang sangat mengagumkan. Tatanan batu-batu raksasa yang demikian rapi menjadi penahan dinding tebing.
Di beberapa bagian, saya melihat struktur batuan yang tampak rata, seperti dinding tembok. Batu itu amat tinggi menjulang hingga ke atas tebing. Tingginya setara dengan bangunan gedung berlantai tiga atau empat. Struktur batuan ini tampak terkonstruksi begitu rapi. Tegak menjulang ke atas, seperti sebuah tembok raksasa. Tetapi, bukan tumpukan batu yang ditata seperti bata. Hanya ada beberapa lapis batu. Kira-kira antara dua sampai tiga lapis batu.
Pada beberapa sisi, tampak cekungan yang membentuk persegi. Pada tiap tepian sudutnya tak ditemukan lekukan yang menonjol. Sangat presisi. Seperti batu raksasa yang dilubangi dengan peralatan canggih.
Menyaksikan itu, saya benar-benar kagum. Andai itu adalah ulah manusia, kira-kira itu kapan dibikin? Kalau itu memang kerja alam, maka betapa kayanya alam ini menampilkan bentuk-bentuk yang beranekaragam.
Belum lagi, ketika sampai di sungai, saya mendapati beberapa bongkah batu ukuran besar dengan bentuknya yang juga presisi. Membentuk pola persegi. Bahkan, ada pula yang terbelah dengan pola belahan batu yang lurus. Saya semakin dibuatnya penasaran. Kalau mungkin ini kerja manusia, untuk keperluan apa batu-batu itu dibuat demikian? Kapan itu terjadi? Mengapa mereka meninggalkan bekasnya? Dengan cara apa mereka membuat bentuk batu itu demikian presisi sedang ukurannya besar-besar? Kalau ini karena alam, betapa perhitungan alam demikian akuratnya.
Salah seorang kawan, tiba-tiba saja nyelatuk, "Mungkin itu kerjanya alien. Mereka datang ke bumi, lalu membelah batu-batu itu dengan sinar laser dari senjata mereka atau dari pesawat UFO."
Alien? Saya setengah tertawa mendengar celatukan itu. Pikir saya, untuk apa makhluk alien repot-repot membelah batu di kawasan hutan belantara semacam ini? Tetapi, itu bukan berarti saya tidak sepenuhnya sepakat mengenai keberadaan makhluk lain selain manusia di alam semesta ini yang memiliki tingkat kecerdasan di atas manusia.
Saya pikir, usaha untuk menemukan jawaban-jawaban itu masih harus digiatkan lagi. Mungkin, menempatkan alien sebagai jawaban sementara boleh-boleh saja. Akan tetapi, bukan berarti itu jawaban akhir. Sebab, apabila diurutkan, sejarah memiliki rentang waktu yang amat panjang.
Bahkan, para ilmuwan pun mengakui, apa yang mereka temukan dan mereka sajikan sebagai jawaban pun belum sepenuhnya menjawab persoalan yang dihadapi. Masih terlalu tebal tabir yang menutupi rahasia yang terbentang di alam semesta ini.
Salah satu cara yang dapat dilakukan sebagai upaya pelacakan itu adalah menemukan konsep-konsep apa yang tersimpan di balik cerita tentang Curug Genting. Narasi-narasi itu bisa jadi merupakan sumber pengetahuan yang perlu untuk ditelisik lebih dalam.Â
Tidak sekadar mendokumentasikan, akan tetapi perlu diulas dan dikaji lebih mendalam hingga menemukan hal-hal yang barangkali tak terduga. Bisa saja berkaitan dengan ilmu pengetahuan atau bahkan pada persoalan nilai-nilai dari pengetahuan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H