Jawab beliau, "Kita santai saja. Nggak harus cepet-cepet dilantiknya." Lalu, beliau sampaikan keluh kesah beliau tentang hal-hal yang tak bisa saya catatkan di sini. Sebab, apa yang beliau sampaikan itu bukan wilayah publik. Bahkan, bukan wilayah saya.
Apapun itu, saya tentu harus bersikap hormat pada setiap jawaban. Hal-hal yang tak perlu, tidak akan saya masukkan ke dalam pikiran saya, juga tak perlu untuk saya ungkap. Yang jelas, dengan jawaban itu, saya berpikir, beliau saat sekarang ini sedang serius merumuskan formula yang tepat untuk memajukan kesenian dan kebudayaan Kota Pekalongan. Itu saja.
Memang, tak mudah membuat sebuah rumusan. Butuh waktu dan energi besar. Akan tetapi, saya meyakini, seluruh pengurus DKKP adalah para pemikir handal. Mereka terbiasa dengan dunia pemikiran, selain berkesenian tentunya. Mereka juga tidak mungkin hanya mengikuti arah angin bertiup. Mereka pasti akan mengepakkan sayap, terbang, dan mampu memainkan angin.
Seperti yang dialami Kota Pekalongan saat ini. Kota ini sudah melesat jauh, menjadi bagian dari dunia setelah berhasil menduduki salah satu bangku keanggotaan Jejaring Kota Kreatif UNESCO. Sebuah usaha yang tak main-main.
Jelas dan pasti, hal itu membawa konsekuensi besar bagi kota yang sekarang ini menjadi perhatian dunia karena masalah alamnya; penurunan tanah dan limpasan air laut yang terus saja naik permukaannya. Apa konsekuensinya? Tak lain adalah bagaimana upaya pemajuan kebudayaan, khususnya di bidang kesenian ini mampu berbicara di tingkat internasional. Dan itu adalah PR besar sekaligus tantangan bagi DKKP.
Tanpa keraguan, saya meyakini, DKKP di bawah kendali Pakdhe Suci Harsana Ragil ini bisa melakukan itu. Sangat mungkin. Kita tengok saja prestasi DKKP. Sudah enam kali DKKP menggelar acara Pekalongan Art Festival. Dari segi nama acara saja jelas DKKP ingin menunjukkan kepada dunia bahwa di Kota Pekalongan ada agenda kesenian yang akbar. Nama itu juga menjadi undangan, tak hanya bagi pelaku seni di daerah sendiri melainkan pula kepada pelaku seni dari berbagai negara.
Obrolan kami rupanya tak sampai tuntas. Lagu terakhir yang diputar sudah sampai pada titian nada terujung. Saya terpaksa meninggalkan ruang belakang, menuju studio. Sementara Pakdhe Ragil tengah asyik bercengkerama dengan partner saya, Opix di belakang.
Saya sibuk bercuap-cuap di depan mikrofon sambil memainkan dua komputer dan mikser. Mengawal acara Wedangan, melayani penelepon ngobrol ngalor-ngidul. Sekalipun begitu, saya punya harapan besar kepada DKKP, bahwa DKKP akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Sebab, DKKP adalah milik masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI