Kekuasaan, bagi para raja, adalah sebuah sistem nilai yang lebih tinggi kedudukannya dari raja itu sendiri. Raja hanyalah seorang hamba yang diberi tugas untuk mengemban kekuasaan agar kekuasaan itu memberi manfaat lebih kepada para kawula. Itulah mengapa, perang yang dilakukan para raja menjadi dharma, menjadi ranayaja.
Tak pelak pula jika ranayaja yang dilakukan merupakan sebuah proses kesinambungan dan kelanjutan dari perputaran roda kekuasaan. Selain melahirkan kekuasaan baru, ranayaja juga berorientasi pada cita-cita agung dari kekuasaan itu sendiri. Yaitu, menaikkan strata kekuasaan.
"Kenaikan status kerajaan atau kekuasaan ini tidak didasarkan pada seberapa luas wilayahnya dan seberapa besar kekuasaannya. Tetapi dia nanti akan menjadi kerajaan yang semua watak kekuasaannya adalah watak manusia---dalam hal ini manusia menduduki pada tataran paling bawah---menjadi kekuasaan yang naik menjadi tataran buta. Kemudian, naik lagi ke pitara, resi, hingga menjadi dewa yajnya," terang Prof. Manu.
Tersebab itu, proses regenerasi yang dijalankan lebih mengutamakan dharmayudha, bukan kuthayudha. Perang yang dilakukan bukan untuk melangsungkan sebuah unsupator (perebutan kekuasaan) melainkan untuk meregenerasi kekuasaan. Dengan begitu, tidak ada satu pun kerajaan yang dihancurkan oleh kerajaan baru.
Akan tetapi, kerajaan baru hanya mengambil alih peran kekuasaan untuk melanjutkan tongkat estafet kekuasaan menuju pada cita-cita bersama, yaitu membangun kekuasaan yang lebih baik. Seperti yang terjadi pada kerajaan Kadiri dan Singhasari.
Apa yang terjadi pada Kadiri dan Singhasari? Ah, sebentar. Saya kira akan lebih bijak jika kisah itu saya simpan terlebih dahulu. Agar ada jeda di tengah pembicaraan. Memberi sempat untuk cooling down. Tulisan ini masih akan saya lanjutkan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H