Wong Jawa ilang Jawan. Agaknya adagium itu tak sekadar menjadi sindiran, melainkan fakta yang aktual. Bagaimana tidak, di tengah riuh ramai dunia perpolitikan---apalagi jelang 2024---para elite politik sudah mulai pasang kuda-kuda bersiap meluncur atau bahkan sudah mencuri start dari lawan-lawannya.Â
Sebagian dari mereka memikirkan tentang kemenangan dalam lomba memajang baliho, spanduk, pamflet, dan lain-lain. Tetapi, apakah arti kemenangan itu bagi rakyat? Apakah itu juga menjadi yang para elite pikirkan? Entahlah! Saya tidak tahu. Yang bisa menjawab ya para peserta lomba yang diselenggarakan KPU.
Terlepas dari persoalan itu, saya tak sedang ingin membahas itu. Meski isu-isu politik tentu selalu menggelitik, walau sebenarnya (maaf) sudah sangat usang. Yang ingin saya sampaikan di sini hanya semacam obrolan tentang melihat masa lampau dari perspektif seorang filolog Sanskerta dan Jawa Kuna dari Universitas Gadjah Mada, K.R.T. Manu J. Widyaseputra.
Nama beliau belakangan sering muncul di beranda YouTube. Saya memang sering mengikuti ceramah-ceramahnya dan diskusi-diskusi beliau yang kerap tak terduga-duga. Membuat saya mesti merenung dan melakukan serangkaian pembacaan ulang atas apa-apa yang kadung diamini sebagai "kebenaran". Meski sebenarnya, kebenaran manusia itu bukan hanya relatif, melainkan beriring pula dengan perubahan zaman.
Saya kira, para politisi---khususnya di lini elite---perlu belajar pada beliau. Sangat perlu dan harus. Bukan hanya karena keilmuan beliau tentunya, akan tetapi juga karena, menurut saya, para elite perlu belajar lebih banyak tentang apa, siapa, dan bagaimana negeri ini di masa lampau. Sehingga, saat mereka berkuasa tidak menjadi penguasa yang tercerabut dari akar sejarah bangsanya.
Sejarah. Ya, sejarah bangsa ini memang kadung buram seburam-buramnya. Tetapi, itu mestinya bukan menjadi alasan untuk tidak menyentuh dan berusaha menyingkap tabirnya.Â
Diakui atau tidak, sejarah di negeri ini terlalu banyak dipolitisir. Sehingga, bukan lagi sejarah politik yang hadir di tengah-tengah masyarakat, melainkan politik sejarah. Itu masih mending baik dibandingkan dengan manipulasi sejarah. Tetapi, mana yang sesungguhnya terjadi? Manipulasi ataukah politik sejarah?
Lagi-lagi saya tak sanggup memberikan jawaban. Bagi saya, lebih baik saya berusaha menjadi pembaca atau pendengar yang baik terlebih dahulu. Lalu, berupaya menjadi seorang pencatat dari segala yang saya dengar dan saya lihat.
Seperti beberapa waktu lalu, saya sempat menyimak sebuah tayangan video berdurasi 17 menit 35 detik, di kanal YouTube Caknun.com tertanggal 30 Juli 2022. Judul video itu "Tatanan Pergantian Raja dalam Kerajaan Nusantara". Per tanggal 6 Agustus 2022, pukul 03.08, video itu sudah ditonton oleh 20.664 orang, dengan jempol 778.
Jika deret angka itu disandingkan dengan podcast Deddy Corbuzier, terutama video terbarunya bersama Pak Menteri Kominfo, tentu sangat jauh selisihnya. Tetapi, saya tidak akan mempersoalkan itu. Menurut saya, materi yang disampaikan Romo Manu (demikian Prof. Manu karib disapa) tak kalah serunya. Apalagi menyoal konstelasi kekuasaan di masa kerajaan-kerajaan Nusantara Kuno.
Jelas, apa yang disampaikan Romo Manu sangat berbeda dari apa-apa yang telah menjadi patokan kebanyakan orang saat ini. Bagaimana tidak, dalam tayangan itu Prof. Manu mengungkapkan bahwa proses peralihan kekuasaan pada masa kerajaan-kerajaan Kuno tidak disertai unsupator alias perebutan kekuasan. Sebaliknya, peralihan kekuasaan dilangsungkan dengan cara yang elegan. Tampil sebagai proses regenerasi kekuasaan.