Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Internasionalisasi Bahasa Bukan Barang Baru!

30 April 2022   04:09 Diperbarui: 30 April 2022   04:22 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang pensiunan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Willem van Der Mollen, dalam sebuah webinar berkisah tentang pengalamannya membaca naskah-naskah Jawa Kuno. Ia mengaku terkagum-kagum dengan apa yang ia baca. Sampai-sampai, ia mengulang-ulang ucapan kata 'spektakuler'.

Bagi saya, istilah 'spektakuler' yang diucapkannya berkali-kali itu bukan sebuah ungkapan yang biasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata itu sebagai menarik perhatian; mencolok mata. Dengan begitu, apa yang ia baca benar-benar menarik perhatian. Lalu, apanya yang menarik perhatian?

Ada banyak hal. Sebagaimana ia sebutkan, naskah-naskah sastra Jawa Kuno---terutama yang ditulis para pujangga abad ke-9---merupakan sebuah temuan canggih. Naskah-naskah itu tidak lagi ditulis dengan bahasa Sanskerta, melainkan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno, bahasa orang Jawa pada masa itu.

Willem menyebutkan, cara itu sebagai cara yang berani. Sebab, pada masa itu, bangsa-bangsa lain di kawasan Asia Tenggara belum mampu menuliskan karya sastra mereka dengan bahasa mereka sendiri. Padahal, mereka juga punya bahasa sendiri.

Penggunaan bahasa Jawa Kuno dikatakannya sebagai lompatan besar. Karena dengan demikian, masyarakat Jawa pada era itu telah memosisikan bahasa Jawa sejajar dengan bahasa Sanskerta. Seperti diketahui, bahasa Sanskerta pada masa itu merupakan bahasa yang memiliki kedudukan tinggi. Ia tak hanya sebagai bahasa dalam kesusastraan, melainkan pula sebagai bahasa filsafat dan ilmu pengetahuan. Pemosisian bahasa Jawa Kuno yang menggeser fungsi bahasa Sanskerta, dengan begitu menjadi sebuah diplomasi budaya yang brilian.

Meski begitu, pemosisian ini tidak lantas menghilangkan bahasa Sanskerta. Sebaliknya, kedudukan bahasa Sanskerta masih tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Setidaknya, bahasa itu digunakan sebagai bahasa-bahasa ritual, bahkan tak jarang pula didudukkan sebagai salah satu penyumbang kekayaan kosakata bahasa Jawa Kuno.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana kira-kira peristiwa yang berlaku pada masa itu. Tetapi, sebagai orang Jawa, saya merasa hal itu sebagai sesuatu yang monumental. 

Di satu sisi, pemosisian bahasa Jawa menjadi sebuah tawaran yang boleh jadi sangat politis. Yaitu, ingin menunjukkan bahwa masyarakat Jawa pun memiliki identitas yang harus diakui oleh dunia saat itu. Sebuah cara yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa bangsa Jawa adalah bangsa yang sama besar dan memiliki kedaulatan.

Di lain hal, kalau boleh meminjam fenomena yang berkembang hari ini, pemosisian bahasa Jawa kala itu merupakan sebuah langkah menginternasionalkan bahasa Jawa sekaligus sebagai upaya untuk menggalang kekuatan bersama bangsa-bangsa lain di dunia. Atau dengan kata lain, dengan pemosisian itu bangsa Jawa berusaha berkawan dengan bangsa-bangsa lain di dunia, menjadi bagian dari persahabatan bangsa-bangsa dunia.

Tentu, selain bahasa yang diangkat, aksara pun ikut serta. Dalam hal ini, aksara Jawa Kuno didudukkan sejajar pula dengan aksara Dewanagari (aksara yang digunakan untuk menuliskan lambang-lambang bahasa Sanskerta).

Ini sekaligus meneguhkan bahwa bangsa Jawa di masa itu merupakan bangsa yang tak buta aksara. Dan, bangsa yang tak buta aksara menandakan pula bangsa yang maju. Memiliki sumber daya manusia unggul, para pemikir, cendekiawan, bahkan teknokrat yang luar biasa.

Dengan simbol-simbol bahasa, sebuah bangsa bisa menyusun ilmu pengetahuan dan mengembangkan teknologi. Dengan simbol-simbol bahasa, sebuah bangsa pun maju dalam segala bidang, terutama dalam budaya literasinya.

Tetapi, agaknya kegemilangan itu akhirnya pudar. Banyak faktor yang menyebabkannya. Tetapi, hal yang paling terasa kini adalah aksara Jawa yang telah mengalami proses perjalanan panjang itu hampir-hampir hilang dari ingatan kolektif sebagian masyarakat Jawa. Aksara itu bagaikan benda yang dimuseumkan, dikenang sesekali untuk selanjutnya hanya dilupakan.

Kita hanya mudik sebentar untuk mengenang jejak lampau yang samar-samar. Kita hanya menengok kampung halaman yang sebenarnya tak banyak kenangan yang bisa kita ingat betul-betul. Lalu, saatnya kembali ke peradaban masa kini, kita terjerumus dalam cangkang modernisasi yang kita masuki dengan perasaan asing.

Aksara Jawa telah tergantikan fungsinya oleh aksara Latin, yang kita sendiri tidak pernah tahu makna di balik setiap hurufnya. Bagaimana asal-usulnya, bagaimana ia menjadi. Agaknya, kita mesti belajar lagi dari masa lampau untuk mengerti bagaimana mestinya, bukan sekadar mencari tahu bagaimana caranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun