(Sebuah catatan kecil dari sudut Majelis Taklim Al Maliki-Pekalongan)
Sejarah perniagaan telah merentangi sejarah peradaban manusia. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia, seiring laju pertumbuhan manusia. Tetapi, sejak kapan perniagaan itu dimulai? Para ahli sejarah dan ekonomi bisa saja berdebat panjang mengenai hal itu.
Ada yang menyebutkan perniagaan jarak jauh dimulai sejak 150.000 tahun silam. Ada juga yang menyebutkan mulai 30.000 tahun lalu. Perbedaan pandangan ini wajar terjadi, sebab membuka catatan masa lampau bukanlah pekerjaan mudah. Penuh teka-teki dan misteri.
Patutlah kita syukuri, bahwa di balik kerumitan itu ternyata ada sebagian orang yang rela menyediakan diri untuk menggali pengetahuan dari masa lalu. Namun, akan lebih bijak lagi jika di antara kita ada yang bersedia melakukan hal yang sama. Menggali kisah-kisah lalu untuk selanjutnya dipetik hikmahnya.
Alquran sendiri banyak menuturkan kisah-kisah sejarah. Mulai kisah sejarah penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, hingga sejarah peradaban manusia. Artinya, kedudukan sejarah sebagai ilmu di dalam Islam sangatlah penting.
Dari kisah-kisah lampau itu kita mendapatkan banyak contoh dari perilaku-perilaku manusia. Kita juga memperoleh pengetahuan tentang bagaimana kehidupan manusia yang sebaik-baiknya. Selain itu, lewat kisah lampau itu kita juga ditunjukkan bagaimana sejarah masa lalu itu berhubungan erat dengan masa kini dan masa depan, yaitu di akhirat kelak.
Ibnu Khaldun, dalam kitab Muqadimah yang masyhur itu menuliskan, mempelajari sejarah, pada hakikatnya kita akan dituntun dan dituntut untuk senantiasa melakukan obvservasi (nazhr) yang diharapkan akan mendukung upaya kita menemukan kebenaran (tahqiq), serta keterangan mendalam tentang sebab dan asal benda wujud, serta pengertian dan pengetahuan mengenai substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa.Â
Dengan begitu, sebagaimana dinyatakan Syekh Muhammad ath-Thahir ibn 'Ashur, dalam kitab Tafsir at-Tahrir wa-at-Tanwir, bahwa dengan mempelajari sejarah, kita punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita saat ini. Dengan kata lain, sejarah adalah cermin bagi masa kini.
Dalam kaitannya dengan dunia perniagaan, para ahli sejarah ekonomi menyepakati bahwa permulaan terjadinya jual-beli di antara manusia adalah rasa saling percaya satu sama lain. Perasaan ini kemudian diejawantahkan ke dalam sistem pertukaran, yang dari masa ke masa terus mengalami perubahan dan penyempurnaan.Â
Mula-mula sistem barter, kemudian berlaku sistem uang yang dimulai dengan penggunaan jelai (alat tukar yang tertua di dunia dan berlaku di bangsa Sumeria, sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi). Lantas, bentuk uang mengalami perubahan. Ada cangkang karena tidak mudah membusuk, kulit binatang, garam, logam emas dan perak, hingga seperti yang sekarang ini.
Penentuan sistem alat tukar itu tidak lepas dari kesepakatan di antara umat manusia. Dengan mempertimbangkan pula kesetaraan nilai antara barang dengan nilai uang. Prinsipnya, semua pihak tidak boleh ada yang dirugikan dalam berniaga.
Akan tetapi, sebagaimana dikisahkan Rama Kiai Muhammad Saifuddin Amirin, dalam helat pengajian rutin Tafsir Al Jalalain, Sabtu malam, 21 Desember 2019, Rasulullah , pada suatu ketika menjumpai seorang sahabat dengan wajah yang kusut. Beliau lantas menegur sahabat itu, "Wahai saudaraku, wajahmu tampak kehilangan cahaya. Kemana kau sembunyikan senyumanmu? Aku ingin sekali melihat kau tersenyum, seperti hari-hari biasanya."
"Ya Rasul, sungguh aku tiada maksud untuk tidak sopan di hadapanmu. Maka, maafkanlah sikapku ini," balas sahabat itu.
Sambil tersenyum, Rasulullah kemudian menyahut, "Sesungguhnya, aku hanya ingin mengingatkanmu, tak baik bagi seseorang menunjukkan perasaan nelangsanya di hadapan orang lain. Itu akan melemahkan dirinya sendiri dan akan membuat orang lain bisa berlaku tidak baik padanya. Sekarang, katakanlah beban apa yang membuat punggungmu terasa berat, wahai saudaraku?"
Mula-mula, sahabat ini agak ragu-ragu menyampaikan keluh kesahnya. Takut jika itu justru akan mempermalukan diri sendiri. Tetapi, lekas-lekas keraguan itu ditanggalkan. Dan mulailah ia bicara, "Begini, ya Rasul. Cukup lama aku menekuni dunia perniagaan. Aku juga telah menjelajah dari kota ke kota untuk melangsungkan usahaku ini. Tetapi, seiring waktu, usaha niaga yang aku jalankan ini bukannya menghasilkan keuntungan. Kian hari, usahaku kian terpuruk. Tidak hanya rugi, malah saat ini aku terancam bangkrut. Benar-benar aku mengalami hari-hari yang berat."
Di saat sahabat itu menjelaskan keadaannya, Rasulullah bersikap sebagai seorang pendengar yang baik. Menyimak setiap kata dan berusaha memahami apa yang dirasakan orang yang ada di hadapan beliau.
"Untuk itulah, aku kemari. Berharap ada setitik cahaya terang yang bisa aku petik dari kebijaksanaan ucapanmu, ya Rasul," pinta sahabat itu kepada Rasulullah .
Sebelum menjawab, Rasulullah mengajukan pertanyaan kepada sahabat itu, "Jika boleh aku tahu, apa yang kau dagangkan, saudaraku?"
"Gandum, ya Rasul," jawab sahabat itu meyakinkan.
Rasulullah tak lekas menjawab. Beliau memperhatikan tingkah sahabat yang duduk di hadapan beliau itu. Lalu, beliau sampaikan saran agar ia memantapkan timbangannya. Jika perlu berilah kelebihan kepada setiap pembeli.
Dari kisah itu, Rama Kiai Muhammad Saifuddin Amirin menguraikan, bahwa saran Rasulullah tentu saja akan bertolak belakang dengan nalar kita sebagai sesama awam. Bagaimana mungkin memberi imbuh (kelebihan) akan mendatangkan keuntungan bagi usaha kita. Bisa-bisa cara semacam itu akan membuat kita semakin cepat menuju pada kebangkrutan.
Memang, secara sepintas, cara itu akan dipandang tidak menguntungkan. Akan tetapi, melalui anjuran itu Rasulullah bermaksud menyampaikan, jika seorang pedagang itu mesti pandai-pandai memikat hati pembelinya. Tentu, dengan cara-cara yang benar dan baik. Ungkapan imbuh tidak semata-mata melebihkan timbangan. Akan tetapi, bisa juga berupa pelayanan yang membuat pembeli merasa nyaman dan senang.
Mulai dari penampilan yang baik. Wajah yang dipenuhi senyum ramah. Tidak segan-segan untuk berkomunikasi dengan baik dan cerdas. Menunjukkan semangat dan etos yang tinggi di hadapan pembeli. Tidak memonopoli. Juga bersikap melayani dan menghindari perdebatan dengan pembeli saat tawar-menawar harga. Sementara keuntungan, pungutlah secukupnya. Tidak terlalu banyak, juga tidak terlalu sedikit.
Cara-cara itu, apabila dilakukan dengan kesungguhan, insya Allah akan mendatangkan berkah. Selain itu, dalam istilah marketing masa kini, cara itu akan menaikkan citra diri pedagang atau personal image branding. Namun, perlu ditekankan pula, bahwa kegiatan ekonomi sejatinya mesti dilandasi nilai rasa. Dengan begitu, etika atau akhlak pun akan terjaga.
Sebagai catatan, selain sebagai bagian dari cara memperoleh penghasilan, berniaga pada dasarnya merupakan sarana manusia untuk saling mengenal satu sama lain. Melalui perniagaan, seseorang akan memiliki kesempatan untuk menambah jalinan pertemanan dan persaudaraan. Dengan begitu, akan ada banyak peluang pula untuk menjalin kerja sama di antara sesama.Â
Sebab, prinsip dasar ekonomi adalah mengupayakan persebaran kesejahteraan di antara umat manusia melalui usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan demikian, ekonomi bukan sekadar menghitung laba dan rugi. Melainkan, mengupayakan terwujudnya tatanan yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja, baldatun thayyibun wa rabbun ghafur.
Wallahu a'lam bish-shawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H