Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kritik dari Pembaca Itu Sangat Dibutuhkan

30 Oktober 2021   01:13 Diperbarui: 30 Oktober 2021   08:44 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Obrolan Jumat malam (Ojuma) di kantor media online yang saya dan kawan-kawan kembangkan, kotomono.co., benar-benar membuat saya bahagia. Setidaknya, saya mendapatkan sebuah masukan yang tak disengaja. Sebuah masukan yang menurut saya pribadi sangat brilian dan sangat berharga untuk saya.

Ketika itu, saya sedang berburu buku di perpustakaan Yayasan Omah Sinau SOGAN, yayasan yang saya dirikan bersama kawan-kawan komunitas Omah Sinau SOGAN (Kebetulan, kantor kotomono.co dan yayasan disatukan. Tujuannya, agar memudahkan kerja saya). Buku yang saya buru itu buku-buku yang mengupas kisah-kisah masa lampau. Apapun bukunya.

Setelah menemukan beberapa judul, saya pun mulai menekuni satu per satu buku-buku itu. Di tangan saya, masih saya buka-buka halaman per halaman dari buku yang berjudul Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha karya George Cds yang diterjemahkan Winarsih Patraningrat Arifin, terbitan KPG. Sementara di atas karpet, beberapa judul buku lain terbaring. Salah satunya sebuah novel.

Mas Arsyad, seorang penulis muda berbakat yang tinggal di kawasan pinggir pantai utara Pekalongan, baru saja tiba. Melihat saya yang sedang asyik membaca buku, ia segera saja menyusul. Ia ambil novel yang tergolek lunglai di atas karpet itu.

Cukup tekun ia membaca. Sampai pada seperempat halaman novel, ia lantas meletakkan kembali novel itu. Saat itu pula, ia berseloroh. Mengomentari kalimat dari novel yang dibacanya itu. Terutama, pada kalimat pembuka dari sebuah novel yang berlatar kisah sejarah.

Kalimatnya begini, Waktu hampir mendekati tengah malam. Spontan, kawan saya yang penulis itu berkomentar, "Kalimat pembuka yang bikin nggak asyik buat menikmati sebuah novel nih."

Saya penasaran. Langsung saja saya pungut novel yang tergolek di atas karpet berwarna hijau itu. Saya baca pada bagian awal yang dimasalahkan teman saya itu. Saya coba renungi lagi kalimat pembuka novel itu. Berulang-ulang saya baca dan berusaha menangkap gambar yang sedang ingin dihadirkan lewat untaian kata itu.

Dan rupanya, saya gagal membangun imajinasi saya sebagai seorang pembaca. Kalimat itu tak memberikan saya gambaran apapun tentang waktu yang mendekati tengah malam. Sebab, antara malam dan tengah malam sama-sama gelap. Yang membedakan keduanya, barangkali saja suasana yang dihadirkan. Misalnya, kesenyapan, sunyi, hening, atau tak ada lagi orang lalu lalang, atau pula lampu-lampu mulai dipadamkan, dan sebagainya.

Tetapi, lewat kalimat itu saya tak mendapatkan gambaran apapun. Apalagi latar waktu/zaman, tempat, sosial-budaya, dan segala macamnya yang mampu mendukung suasana yang ingin dibangun oleh novel itu pun tak jelas. Absurd.

Bahkan, absurditas itu menjalar hingga ke kalimat-kalimat berikutnya. Sampai-sampai saya menangkap kekacauan pada paragraf pertama di bagian awal dari novel itu. Untaian kalimat pada paragraf pertama dalam novel itu benar-benar membuat imajinasi pembaca berantakan.

Setelah kalimat yang dimasalahkan teman saya, muncul kalimat begini, Malam itu, malam Jumat, 1 Suro... bla bla bla. Satu paragraf awal saya baca hingga selesai.

Lalu, saya diskusikan dengan teman saya. Saya katakan padanya, jika untaian kalimat dalam paragraf ini digambarkan ke dalam bentuk film, maka gambarnya susah dicerna. Meloncat-loncat dan keberlanjutan antargambar tidak terjaga. Malah bisa bikin mata sakit dan kepala pusing.

Teman saya ngakak sembari menimpal, "Makanya, saya bilang apa. Novel kayak gini susah dinikmati bagi orang yang ingin menikmati kisah yang mau diangkat. Padahal, kalau baca judulnya sih keren. Ekspektasi pembaca pasti ingin mendapatkan kisah yang juga seru dan bikin penasaran."

Lantas, saya coba masuk lagi ke bagian lain. Saya baca dialog dan pengadegan yang disajikan novel itu. Saya baca dengan bersuara, teman saya makin ngakak. Menurutnya, novel itu gagal membuat efek dramatik. Dialog dan adegan yang dimunculkan masih sangat mentah.

Gara-gara obrolan itu, diam-diam saya membatin. Jangan-jangan tulisan panjang yang sedang saya garap juga akan mengalami nasib yang sama. Jadi bahan tertawaan teman saya yang satu ini. Blaik! Saya pun buru-buru mengoreksi lagi bagian awal, meneliti setiap kata yang saya bubuhkan. Berharap agar diksi yang saya gunakan memiliki daya untuk menghidupkan imajinasi pembaca.

Dan, teman saya benar. Menulis sebuah kisah panjang tidak bisa dilakukan dengan sekali jadi. Mesti telaten untuk memeriksa ulang setiap kata yang dihadirkan. Tentu, dalam upaya ini, saya perlu memosisikan diri sebagai pembaca.

Terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada teman saya, seorang penulis muda berbakat dari kawasan pesisir utara Pekalongan. Tawamu membuat saya berkesempatan untuk belajar lagi. 

Ya! Kadang kritik tak selalu harus diungkapkan melalui forum yang serius. Bisa saja, kritik hadir dalam suasana cair dan lumer seperti tadi malam. Saat saya dan teman-teman tengah menyusun sebuah rencana untuk menguatkan media daring yang kami kembangkan, kotomono.co.

Selain itu, kritik juga tak mesti dimunculkan dari seseorang yang kelasnya sudah sangat ahli. Dari seorang yunior pun saya bisa mendapatkan kritik yang sangat saya butuhkan.

Baca juga: Kenapa Cerita Fiksi Perlu Dikaji?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun