Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Memberi "Panggung" untuk Pendengar Setia

7 Oktober 2021   01:04 Diperbarui: 7 Oktober 2021   01:12 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: dokumen pribadi | Opixhitamarang

Sepasang suami-istri muda tiba-tiba saja mengirimi saya pesan via Whatsapp. Mereka mengabarkan kalau malam itu, mereka sudah ada di Pekalongan. Jauh-jauh mereka datang dari desa hanya untuk berkunjung ke studio radio tempat saya bekerja. Wah, tentu kabar itu mengejutkan sekaligus menggembirakan buat saya.

Sayangnya, waktu itu saya masih di rumah. Biasanya, saya baru berada di studio jika sudah mendekati jam siaran acara yang saya pandu bersama host partner saya, Om Opix. Dengan sangat terpaksa saya sampaikan kabar kurang enak itu kepada mereka, penggemar acara Wedangan yang biasa tayang di Radio Kota Batik, Pekalongan. Disertai permohonan maaf, saya sampaikan jika tidak bisa menyambut kehadiran mereka di studio.

Syukurlah mereka mau mengerti, meski sebenarnya ada sedikit nada kecewa. Sebab, mereka datang dari jauh. Kira-kira menempuh satu jam perjalanan lebih dari Kota Pekalongan.

Tak enak hati saya menangkap kesan itu, saya lantas berusaha sebisa mungkin untuk datang ke studio lebih awal. Setidaknya, agar saya bisa menyambut kedatangan mereka dan saling bersapa.

Tiba di studio, sepasang suami-istri yang nekat jalan-jalan di malam hari ini masih setia menunggu kedatangan saya. Ditemani host partner saya, Opix, mereka duduk di ruang belakang. Mereka nampak asyik mengobrol.

Saya yang baru saja datang di studio lekas-lekas saja menyambut. Mereka pun menyalami saya. Tetapi, ada yang berbeda saat mereka menyalami saya. Baik sang suami maupun istri menyalami saya dengan mencium tangan saya.

Bagi saya, itu aneh. Bahkan, sangat berlebihan. Sebab, salaman model cium tangan---dalam kebiasaan saya---hanya dilakukan untuk orang tua, guru, atau orang yang dituakan seperti Pak Kiai, Habib, atau sesepuh lainnya.

Sementara saya, tidak termasuk dalam golongan-golongan itu. Jadi, saya pikir itu penghormatan yang berlebihan. Saya pun segera menarik tangan saya, ketika adegan mencium tangan itu hendak mereka sempurnakan.

Selepas itu, kami pun akhirnya mengobrol santai. Minimal untuk mengisi waktu sebelum akhirnya saya dan Opix bercuap-cuap di studio. Obrolan biasa. Saling bertanya kabar, bertanya kesibukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan keseharian lainnya.

Tapi, entah bagaimana mulanya, kedua tamu istimewa kami ini mendadak menjadi speechless. Mereka hanya memandangi kami dengan penuh rasa tegun, sehingga saya merasa seperti sedang monolog di depan mereka. Malah, sempat pula saya merasa grogi begitu menangkap tatapan mereka yang demikian polos.

Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, apa mungkin ada yang salah dengan diri saya? Mungkin karena penampilanku yang pakai kain iket untuk penutup kepala dan sarung batik yang kesannya aneh bagi mereka? Ataukah karena caraku bicara yang membuat mereka merasa geli? Entahlah.

Yang jelas, saya sangat bergembira dengan kehadiran mereka yang tak disangka-sangka itu. Sebagai ungkapan rasa kegembiraan itu, malam itu juga (Senin, 4/10) kami memberikan tempat bagi pasangan suami-istri ini untuk ikut bersiaran. Ikut merasakan bagaimana bersiaran di radio.

Mula-mula mereka menolak dengan alasan malu dan takut salah. Tetapi, kami meyakinkan bahwa mereka tidak perlu mencemaskan apapun. Jadilah siaran kami ditemani sepasang suami-istri yang datang dari Comal, Pemalang itu.

Di ruang siaran kami bercas-cis-cus. Saling berbagi cerita dan pengalaman satu sama lain. Kata pasangan suami-istri ini, mereka merasa senang bisa ikut siaran. Tidak pernah terbayangkan, bagaimana rasanya bersiaran di radio. Dan ini adalah kesempatan langka buat mereka.

Tentu, mereka sangat senang dengan sambutan yang kami berikan. Bahkan, dalam obrolan mereka, saya sempat menangkap pernyataan sang istri, jika peristiwa ini akan menjadi peristiwa yang akan mereka kenang selama-lamanya. Sekali seumur hidup, mereka baru merasakan bagaimana bersiaran di radio.

Tak terasa, jam siaran pun tuntas tepat pukul 24.00. Kami pun segera undur diri dari ruang siaran. Begitu pula dengan pasangan suami-istri, Mas Watno dan Mbak Halimah.

Selepas bersiaran, mereka mohon izin pamit pulang. Sebelum pamit, mereka meminta izin berfoto bareng. Permintaan itu pun kami terima. Malah dengan senang hari. Setidaknya, sebagai oleh-oleh dan kenangan untuk mereka.

Begitu selesai sesi foto-foto, mereka segera pulang. Tetapi, karena khawatir tidak cukup mengenal jalan, saya dan Opix menawari mereka untuk mengantar sampai di POM Bensin dekat Stasiun Pekalongan. Mereka pun tak keberatan.

Berkaca dari pengalaman ini, ada hal yang sangat bermakna bagi saya. Ternyata, membuat orang lain bahagia itu mudah dan bisa membuat kita bahagia. Cukup dengan memberi mereka kesempatan untuk muncul ke permukaan. Istilah lainnya, memberi mereka panggung.

Ya, memberi panggung untuk orang lain sebenarnya hal yang tak sulit. Bahkan, itu menjadi perihal yang sangat menyenangkan. Sangat berbeda ketika saya berburu panggung. Bisa sangat melelahkan dan kadang bikin stress.

Obsesi pada panggung kadang membuat saya cenderung mudah tersinggung. Hanya karena saya merasa tidak dipanggungkan. Merasa tidak mendapatkan kesempatan untuk tampil. Merasa tidak mendapatkan apresiasi.

Yang lebih melelahkan lagi, ketika saya berusaha sekuat tenaga membikin panggung untuk diri sendiri. Rasa-rasanya seperti orang yang kehilangan kewarasan nalar. Bagaimana tidak, panggung dibikin sendiri, dinaiki sendiri, lalu berharap mendapat apresiasi dan kadang ingin disebut sebagai hero alias pahlawan. Oh!

Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, panggung itu sifatnya sangat fana. Eksistensi di atas panggung atau pentas hanya sebentar. Setelah turun panggung, tentu menjadi orang biasa seperti orang-orang pada umumnya. Tidak dikenal, tidak dianggap sebagai bintang, dan sebagainya.

Dunia panggung, sebenarnya memiliki banyak pelajaran penting di dalamnya. Tentang kehidupan dan tentang bagaimana mestinya menjadi manusia yang wajar. Seperti saat pertama saya mendapatkan pelajaran penting dari panggung teater.

Ketika di atas pentas, sesungguhnya yang dilakukan adalah memainkan peran. Bukan berpura-pura punya peran. Bukan pula berperan dengan kepura-puraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun